Tetak

Malam itu aku demikian gelisah. Minyak lampu teplok yang tergantung di bilik kamarku telah habis terserap oleh sumbunya, redup sinarnya. Sebentar lagi gulita. Jantungku terasa makin cepat genjotannya, ketika fikiran membayangkan betapa ngerinya penyiksaan esok hari. Ya, aku akan dibantai atawa tepatnya dipenggal!

Azan subuh terdengar sayup-sayup ditingkahi dengan kokok ayam jago yang bersahut-sahutan dari penjuru kampung. Aku baru saja terlelap, tetapi sepasang tangan kekar telah menarik selimut dan menyeretku keluar kamar.

“Cepat siapkan drumnya… isi dengan air!” perintah si tangan kekar kepada orang di sebelahnya. Aba-aba selanjutnya ditujukan kepadaku.

“Ayo, lepas semua pakaianmu dan masuk ke dalam drum ini,” gertaknya.

Ketakutanku malah menambah dinginnya pagi itu. Aku menuruti perintahnya, masuk ke drum yang tingginya hampir sama dengan tinggi badanku. Gigi-gigiku gemeretak sebagai respon mulai membekunya syaraf-syaraf di sekujur tubuh.

“Jangan keluar dari drum, sebelum aku perintahkan!” kata si tangan kekar. Seorang lainnya menjagaku, duduk di sebuah bangku kayu lapuk sambil menikmati sebatang kretek Nojorono. Bajindul tenan!

Terang tanah. Semburat matahari mulai menghangatkan tubuhku yang masih terendam air. Penderitaanku agak sedikit berkurang. Tetapi tidak lama. Si tangan kekar datang bersama sepeda Raleigh-nya menurunkan karung goni dari boncengannya. Oh… yang dia bawa ternyata balok es, dan tanpa permisi dia masukkan es batu itu ke dalam drum. Ampun……  dinginnya menembus ke tulang belulangku.

Jam 9 pagi. Tangan kekar mengeluarkanku dari drum. Berarti hampir 5 jam aku kungkum, tersiksa di dalam drum. Separoh tubuhku mati rasa. Jemari tangan dan kaki pucat pasi, berkerut dan semakin mengecil. Aku hampir tidak mampu menggerakkan tubuh, hanya kerjapan mata yang bisa kulakukan.

Si tangan kekar mengeringkan tubuhku dengan handuk yang sudah sobek ujungnya. Baju dan sarung baru dikenakan di tubuhku. Si tangan kekar mengangkat tubuhku yang separohnya masih membeku dan meletakkan di sebuah amben.

Pembantaian itu segera dimulai. Ingin rasanya aku berteriak sekencang-kencangnya, memanggil nama ibu yang telah melahirkanku, minta kekuatan dan perlindungan. Tetapi suara itu tercekat di tenggorokan. Mataku terpejam kuat, tidak berani menatap apa pun di sekitarku.

“Buka sarungnya!”  Suaranya terdengar parau menakutkan.

Jantungku terasa mau lepas dari tempat bergantungnya, mendengar perintah itu. Gemerincing suara pisau yang saling beradu memaksaku membuka mata.  Aku makin terbelalak menyaksikan seperangkat pisau, kain perban, obat merah yang baunya menyengat, yang ditaruh di ujung kakiku. Orang di hadapanku memilah-milah pisau yang terjejer rapi itu, seakan menimbang ukuran mana yang pas untuk membantai seorang anak SMP klas 2, hari itu.

Aku menguatkan hati dengan ndremimil melantunkan doa yang kubisa: Duh Gusti Allah, berikan kekuatan kepadaku untuk menjalankan sunnah Nabi-Mu.

Dan, bong supit pun mulai melakukan tugas mulianya.

Aku tidak mampu meredam ketakutan atas hilangnya sekerat tetelan daging bawah pusarku. Aku pingsan, cukup lama.

Ketika siuman, aku lihat sekeliling. Ada ibuku. Ia menggenggam tanganku. Tersenyum dan berkata: “Jadilah laki-laki sejati, le!”

________________________________________
glosarium :
tetak = khitan, sunat
Nojorono = merk rokok dari Kudus
bajindul tenan = sebuah umpatan plesetan
kungkum = berendam dalam waktu lama
amben = bale-bale, tempat tidur dari kayu/bambu
ndremimil = komat-kamit tidak jelas kalimatnya
bong supit = mantri sunat/juru khitan
tetelan = irisan sisa daging

Note: Artikel Nostalgia bersama Ibu #1 ini untuk menyambut Hari Ibu tanggal 22 Desember