Sebagai seorang yang baru belajar menulis, membaca novel serial Dahlan Iskan karya Khrisna Pabichara banyak hal yang bisa saya dapatkan dari sana. Salah satunya pemilihan diksi yang sangat nyiamik – bahkan kalau ada paragraf yang menarik saya bisa membacanya berulang-ulang. Maka, kehadiran Surat Dahlan dari toko buku online langganan saya segera saja mengobati kerinduan saya pada rangkaian kalimat ciptaan Khrisna Pabichara. O iya, Surat Dahlan adalah buku kedua dari Trilogi Novel Inspirasi Dahlan Iskan. Novel setebal 378 halaman yang diterbitkan oleh Noura Books (Januari 2013) ini memang menghadirkan surat-surat Dahlan dan catatan di buku harian Dahlan.
Bagi Anda pembaca novel Sepatu Dahlan, tentu ingat sosok gadis cantik Aisha yang ditaksir Dahlan atawa Maryati yang diam-diam mencintai Dahlan. Saya akan kutipkan catatan Dahlan – yang menurut saya kalimat-kalimatnya bagus betul – setelah Dahlan diberitahu oleh Maryati kalau Aisha sudah menikah. Dahlan berusaha melupakan Aisha.
Ini tragedi, barangkali. Aisha, yang dulu diam-diam aku kagumi, kini jelas bukan jodohku. Entah benar atau tidak, kabar itu amat mengguncang. Kemudian, harapan menemukan jalan baru agar hidup lebih cerah di masa yang akan datang malah tersua jalan buntu. Aku tahu, hidup memang kombinasi indah dari bahagia dan derita. Dan, bukan wewenangku untuk menakar berat mana timbangan antara bahagia dan derita itu.
Tuhan tak menimpakan sesuatu yang mustahil dipikul olehku.
Aisha, dulu kita terlalu sering saling mengenang. Sekarang, kita harus mulai (belajar) saling melupakan. Sungguh, banyak hari yang kukorbankan untuk bersungguh-sungguh merindumu. Aku tahu, kau juga seperti itu. Namun, bukan kita yang menentukan takdir. Ada kuasa di luar kita. Tuhan. Maka, kehilangan kamu adalah pintu yang kupilih, agar di ruang lain aku menemukanmu sebagai yang abadi.
Aku tidak akan bertanya di antara reruntuhan janji kita. Tidak bertanya mengapa janji itu rubuh dan ke mana para pemilik janji itu pergi. Aku juga tidak mencari apakah benar janji itu runtuh karena aku yang salah menjaga kekukuhannya sehingga diperlakukan seperti ini. Aku juga takkan berharap suatu ketika kau akan kembali, pada hari selain hari pernikahanmu, dan mungkin pada hari selain itu, untuk mengutuhkan kembali runtuhan janji itu. Dalam tahun-tahun di mana aku masih menemukan dirimu hidup di dalam hatiku, belum pernah kulihat, atau tanpa sengaja kulihat, ada warna semuram luka ini. Setidaknya, pertemuan dan perpisahan kita menegaskan bahwa tak ada yang abadi. Kecuali Dia, Tuhan Pemilik Segala Setia.
Tenang saja, Aisha. Aku tidak kecewa, tidak juga menyesali takdir yang tidak berkenan memenuhi harapan kita.
Insya Allah, aku akan baik-baik saja. Dadaku, Aisha, seperti senja, cukup lapang untuk menampung gelap dan cahaya. Juga duka dan suka. Sebab aku sadar, seandainya kita bahagia sepanjang tahun, lalu ada satu hari saja kita terluka, sering kali luka itulah yang lekat dalam ingatan. Namun, aku tidak. Luka hanyalah pernik kecil dari rantai bahagia.
Hanya saja, seandainya aku boleh meminta satu hal, biarkan aku tahu lelaki mana yang, kini, mendampingimu di pelaminan. Aku ingin mendoakan kalian, dengan nama lengkap – tentu saja, biar doa itu benar-benar tepat untuk kau dan dia – semoga kalian bahagia. Hari ini, besok, dan hari-hari sesudahnya.
Doakan juga agar aku bahagia dengan melupakanmu.
Bagaimana menurut Sampeyan?