Sang Hyang Wenang berbesanan dengan Begawan Rekatama. Anak lelaki Sang Hyang Wenang yang bernama Sang Hyang Tunggal mendapatkan jodoh Dewi Rekatawi, putri nan jelita dari Begawan Rekatama.
Singkat cerita, mengandunglah Dewi Rekatawi. Dalam perutnya itu bukan berisi jabang bayi, melainkan sebutir telur. Ya, saat melahirkan yang keluar dari rahim Dewi Rekatawi berupa telur sebesar bayi!
Tanpa bantuan dukun beranak, telur yang keluar dari rahim Dewi Rekatawi melesat terbang ke angkasa terbawa oleh angin. Ndidalah, telur itu jatuh di dekat kaki Sang Hyang Wenang, yang tak lain kakek dari si telur itu.
Namanya juga raja segala dewa, ia tahu kalau telur itu sesungguhnya cucunya sendiri. Ia memungut telur itu dan menaruhnya di telapak tangannya. Terjadi keajaiban: telur membelah dan menjadi tiga jabang bayi berkelamin laki-laki. Bayi yang berasal dari kulit telur dinamai Antaga, yang berasal dari putih telur dinamai Ismaya dan yang berasal dari kuning telur dinamai Manikmaya.
Ketiga bayi diasuh sang kakek, hingga mereka tumbuh dewasa. Waktu masa kanak-kanak mereka rukun damai-sejahtera, tetapi ketika sudah dewasa dan mengerti arti kekuasaan mereka mulai sering bertengkar. Antaga, sebagai anak sulung merasa berhak mewarisi tahta ayahnya, Sang Hyang Tunggal. Sementara, Ismaya tidak terima karena ia merasa lebih sakti dibanding kakaknya. Bagaimana dengan Manikmaya, apakah ia tak tergiur oleh tahta? Manikmaya ingin bermain cantik dengan memanfaatkan pertikaian kakak-kakaknya.
Antaga selalu mengklaim diri sebagai pewaris tahta, karena ia tercipta dari kulit telur. Bukankah kulit telur melindungi isi di dalamnya, yang tak lain adalah putih dan kuning telur? Ismaya pun berpendapat kalau kulit telur itu mudah pecah, dan apalah artinya kulit telur tanpa adanya putih telur?
Sebagai adik bungsu, Manikmaya menengahi pertengkaran kakak-kakaknya.
“Aku tahu, kalian berdua sama-sama sakti mandraguna. Aku usul bagaimana kalau kalian adu tanding kesaktian untuk membuktikan siapa yang kuat di antara kalian. Tentu saja yang kuat akan menjadi raja. Oke, para kakak?”
Antaga dan Ismaya sepakat dengan usul adik mereka.
Manikmaya menunjuk ke arah gunung Garbawasa. “Siapa di antara kalian yang sanggup nguntal (menelan bulat-bulat) gunung itu, dialah yang menang. Oke, para kakak?”
***
Gunung Garbawasa adalah sumber kehidupan manusia. Apapun terkandung di dalam gunung itu: mineral, tanaman, mata air, hutan, dan sebagainya. Setelah mereka melakukan suit, maka Antaga-lah yang lebih dulu memulai nguntal gunung.
Antaga mengangkat gunung Garbawasa. Ia buka mulutnya lebar-lebar. Ia berusaha menjejalkan gunung itu ke dalam mulutnya. Namun selalu gagal. Ia tak mau menyerah. Berulang-ulang ia coba memasukkan gunung dari semua sisinya. Tak berhasil. Bibirnya melebar. Mulut Antaga sobek di sana-sana. Antaga yang awalnya berparas tampan kini wajahnya menjadi sangat buruk. Ia menyerah, tetapi tak bisa mengembalikan wajahnya seperti semula.
Kini giliran Ismaya. Ia berkonsentrasi dan mengosongkan pikirannya. Ia bayangkan bagaimana kalau ia masuk kembali ke rahim ibunya. Bukankah makhluk sebesar dirinya dulu pernah bersemayam di dalam rahim ibunya? Rahim ibu adalah sumber kehidupan itu sendiri yang terwakili oleh keberadaan gunung Garbawasa.
Kemudian ia raih gunung Garbawasa. Gleg! Sekali untal, masuklah gunung itu ke dalam perutnya. Cilaka dua belas! Ia tak berhasil mengeluarkan gunung Garbawasa dari perutnya. Ia terlambat menyadari seharusnya ia bisa menaklukkan kebesaran jagat raya dengan menghendalikan hawa nafsunya. Ismaya yang berparas tampan itu pun berubah menjadi buruk rupa, karena perut dan pantatnya membesar karena gunung yang ditelannya itu.
***
Kejadian tersebut akhirnya diketahui juga oleh ayah mereka, Sang Hyang Tunggal. Perbuatan itu sungguh memalukan yang tak pantas dilakukan oleh para dewa yang terhormat. Antaga dan Ismaya pun diusir dari kahyangan untuk turun ke bumi dengan membawa tugas masing-masing.
Ketika berdinas di dunia, Antaga berubah nama menjadi Togog tugasnya untuk menemani manusia berhati jahat, sedangkan Ismaya berubah nama menjadi Semar tugasnya untuk menemani manusia berhati baik. Kelak, Togog mengabdi pada klan Kurawa sementara Semar menjadi abdi para Pandawa.
Lalu, bagaimana nasib Manikmaya? Akal liciknya membuahkan hasil. Ia mendapatkan warisan tahta dari Sang Hyang Tunggal yakni menjadi penguasa para dewa-dewi di kahyangan dengan gelar Bathara Guru. Tak ubahnya seperti sifat kedua kakaknya, Bathara Guru yang berasal dari kuning telur itu ternyata juga dewa yang gila kekuasaan. Ia bukan pemimpin yang baik karena suka mengadu domba, tidak adil, hatinya dipenuhi dengan sifat iri, dengki, dan hal buruk lainnya.
Itulah kisah tentang keserakahan.
Tancep kayon!