Tentang Jual Beli

(1)

Pada suatuĀ makan siang di warung langganan, saya memesan nasi bebek + jeruk panas + 2 kerupuk. Kali ini yang melayani orang baru, soalnya baru pertama kali melihatnya. Pengelola warung ini memang tak ada perempuannya, semua laki-laki. Meskipun kelihatan sepi, warung ini sesungguhnya mempunyai omset cukup baik karena mereka bagus di pesanan antar atau sering terima pesanan catering.

Selesai sudah prosesi makan siang saya dan saatnya membayar. Total yang harus saya bayar Rp 33.000. Supaya uang kembaliannya bulat, saya bayar Rp 53.000. Ia bilang, bukan lima tiga, tetapi tiga tiga. Saya jawab kalau saya tahu, makanya saya memberikannya lima tiga supaya kembalian bulat dua puluh ribu, dengan uang selembar atau dua lembar uang sepuluh ribuan.

O, rupanya cara saya ini membikin orang baru yang melayani saya tadi kebingungan. Uang Rp 3.000 milik saya dikembalikan lalu ia mengacak-acak laci untuk mencari uang receh sehingga genap Rp 17.000 (3 lima ribuan + 1 dua ribuan). Uang kembalian tersebut saya terima, kemudian saya gabungkan dengan uang Rp 3.000 yang belum sempat saya masukkan saku.

“Mas, ini tolong ditukar uang dua puluhan dong,” pinta saya.

Ia menghitung uang yang saya kasih, lalu dari laci ia keluarkan uang dua puluh ribuan.

(2)

Pada suatu malam, Lila nitip dibelikan fried chicken pada sebuah warung yang biasa saya lewati ketika ke masjid kompleks perumahan. Warung ini cukup laris. Subuh sudah buka dan akan tutup (karena dagangan habis) pada menjelang isya atau selepas isya. Pernah sekali saya menunda beli – ke masjid dulu, baru nanti pulangnya beli – ternyata kehabisan.

Berdasarkan pengalaman tersebut, saya mampir dulu ke warung tersebut untuk memesan dua potong dada @ Rp 9.000. Saya bilang kepada penjaga warung kalau ayam tersebut akan saya ambil sepulang dari masjid. Saya membayarnya dengan uang dua puluh ribuan.

Selesai shalat isya saya tak beranjak pulang, sebab ketemu teman lama yang kebetulan mampir shalat di sana. Ngobrol ngalor-ngidul, tahu-tahu jam menunjuk hampir jam setengah sembilan. Saya pun pulang.

Ya, ampun! Saya baru teringat kalau sedang nitip ayam ketika melewati warung fried chicken yang pintunya sudah ditutup separo. Saya minta maaf karena telat mengambil titipan. Ketika saya akan melangkah, berhentilah sebuah motor yang dikendarai oleh seorang bapak yang membonceng anaknya.

“Ya, dik. Fried chicken-nya sudah habis,” kata bapak tersebut kepada anak yang dibonceng.

Ada tatapan kecewa di mata anak perempuan yang berusia taman kanak-kanak itu. Saya pun menghampirinya, dan memberikan fried chickenĀ milik saya.

Karena bapak itu membutuhkan hanya satu potong, maka satu potongnya lagi dikembalikan ke saya. Memang rejeki Lila, masih bisa menikmati fried chicken. Kami minta tolong penjaga warung membaginya menjadi dua bungkus. Ia juga memberikan uang pengembalian ke saya Rp 11.000.