Tempe

Bagi saya, rasanya kurang afdol nekjika makan tanpa berlauk tempe, terutama tempe goreng yang disajikan masih panas kebul-kebul. Akan lebih nyiamik kalau digoreng pakai tepung.

Padahal ada banyak jenis masakan tempe: bacem, oseng, tempe kuning, tempe masak taoco dan mendoan.

Meskipun saya pernah beberapa kali melihat prosesi pembuatan tempe yang cenderung ‘njinjiki‘ tetapi kesukaan saya akan tempe tak berkurang. Di dalam masakan Jawa malah ada bumbu menggunakan tempe bosok! Tempe adalah makanan rakyat yang murah meriah, tur bergizi tinggi.

Perkara harga tempe yang murah meriah, itu cerita jaman dulu. Ketika tempe hanya mengenal kemasan sederhana dengan menggunakan daun pisang atawa daun waru dan dijual di pasar tradisional atawa dibawa mbok-mbok bakul dari rumah ke rumah.

Mungkin karena (waktu itu) tempe menjadi makanan favorit rakyat jelata, maka sering terdengar ungkapan ‘mental tempe’ untuk menyebut seseorang yang nggak punya nyali untuk memenangkan sebuah kompetisi. Seperti halnya sifat kebanyakan rakyat jelata yang cenderung nrimo ing pandum, pasrah terhadap kehendak yang lebih perkasa dan kuat kedudukannya.

~oOo~

Kondisi kekeringan di Amerika Serikat yang terjadi saat ini ternyata berdampak pada produksi tempe di tanah air. Kok bisa? Apa hubungannya? Ternyata kedelai untuk bahan baku pembuatan tempe di tanah air diimpor dari Amerika Serikat, Argentina dan Brazil yang angkanya berkisar 40% dari konsumsi kedelai di tanah air.

Karena pasokan kedelai impor terbatas, sementara permintaan tempe di tanah air sangat tinggi, maka harga kedelai naik drastis yang akibatnya harga tempe juga akan naik. Pengrajin tempe ikut menjerit, mereka tak mau kehilangan pelanggan!

Apakah kedelai yang dihasilkan oleh negeri khatulistiwa ini tak mampu memasok kebutuhan dalam negeri? Katanya sih nggak, karena masa tanam kedelai di negeri tropis seperti Nusantara ini hanya dapat dilakukan secara maksimal di mangsa ketiga, artinya  di masa tanam ketiga dengan siklus tanam: padi – padi – palawija. Biji kedelai yang dihasilkannya pun tidak seragam ukurannya sehingga kurang bagus jika dibuat tempe. Biji kedelai lokal yang tidak seragam ukurannya itu akan digunakan sebagai bahan baku pembuatan tahu atawa kecap, yang cara pembuatannya dengan menghancurkan/melumat biji kedelai, lalu bungkilnya untuk makanan ternak.

Sementara itu, biji kedelai yang dihasilkan dari negeri sub-tropis seperti AS, Argentina dan Brazil ukurannya seragam dan besar. Kalau begitu, menjadi tugasnya para tukang insinyur pertanian negeri ini untuk membuat rekayasa genetika kedelai berukuran seragam dan besar-besar.

Sstt… saya tahu perkara ini setelah mendengar siaran radio saat berangkat kantor tadi pagi. Jebulnya, tempe yang saya nikmati saban hari kedelainya diimpor dari negerinya Pak Obama. Saya kira produk Amerika hanya urusan fried chicken/burger, minuman bersoda, film Hollywood dan celana lepis saja yang dikonsumsi rakyat Indonesia.

Selama masih makan tempe (dengan kedelai impor) jangan sekali-sekali mengutuk Amerika! Hidup mental tempe!

Masa kekeringan di Amerika diperkirakan masih akan berlanjut hingga bulan Oktober 2012 mendatang. Kondisi ini membuat produksi kedelai di tanah air mengalami penurunan. Bayangkan, jika terjadi kelangkaan tempe di pasaran.

Alamat berbuka puasa tanpa tempe, nih.