“Tak Gebuk, Kowe!”

Gara-gara hujan yang terus-menerus turun nyaris tanpa berhenti, kasur-kasur di rumah jadi lembab dan berbau apek. Itu berarti mengundang jamur-jamur untuk dengan leluasa datang menempel dan bermain-main dengan leluasa di tanah lapang kasur tersebut. Nah, itu kondisi gawat. Bila dibiarkan bagaimana kita bisa enak tidur? Kondisi tersebut akan mengundang kemungkinan-kemungkinan lain. Misalnya, datang kuman atau binatang kecil lain yang akan membuat tubuh kita gatal-gatal. Kalau sudah begitu bisa-bisa kita akan jadi seperti Anoman yang sepanjang malam akan srik-srikan terus menggerakkan jar-jari kita, kukur-kukur ke sekujur tubuh badan kita. Maka…

“Geen, Mister Rigen!”

Dalem, yess Boss!”

“Begitu hari panas, meski cuma sebentar, keluarkan kasur-kasur dan jemur di halaman. Mangkin lama mangkin baik.”

Sendiko, Pak. Tapi sapu kebyoknya tinggal satu dan sudah mengecil saking sudah dipakai itu, Pak.”

“Ya, masak kasur dijemur cuma akan digebyoki dengan sapu lidi yang sudah kurus. Apa hilang nanti jamurnya? Belum lagi kuman-kumannya. Ayo beli gebyok kasur yang dari rotan itu! Beli dua yang besar-besar biar mantep bolehmu nanti menggebloki kasur-kasur itu!”

Geblok apa gebuk to, Pak Ageng?”

“Ah, sama saja. Yang penting bisa bunyi bak-buk, bak-buk, begitu.”

“Kalau begitu lebih marem, lebih puas gebuk saja, Pak. Buk-buk-buk-buk-buk-buk-buk-buk begitu.”

“Terserah kamu, deh. Ini uangnya, cepat beli. Kayaknya hari ini tidak akan turun hujan. Langitnya biru, bersih. Pertanda hari akan panas.”

Saya pun lantas duduk leyeh-leyeh di kursi goyang membaca koran sembari nglaras menikmati Minggu pagi yang cerah itu. Buru balam atau derkuku Beni Prakosa di sangkarnya menyanyikan panggilannya yang khas derkuku-ku, derkuku-ku, derkuku-ku,dengan monoton sekali. Tetapi itulah musik Minggu pagi di rumah saya yang khas. Tahu-tahu saya pun tergeletak, koran pun berhamburan di lantai…

Tahu-tahu hari sudah siang dan saya pun geragapan bangun. Dari kursi goyang saya dengar suara bak-buk-bak-buk kasur-kasur digebuki Mister Rigen. Tetapi di sela-sela penggebukan itu saya dengar Mister Rigen terus menggerundel. Istrinya ikut menunggui.

“Punya dua anak laki-laki tidak dapat diharap bantuannya.”

Bak-buk-bak-buk, bak-buk-bak-buk…

“Huh, kalau diajak jalan semrintil, lari cepat-cepat mau, kalau …”

“Apa to Paak. Pagi-pagi menggebuki kasur sambil menggerutu!”

Lha, ya itu anak-anakmu itu. Tidak bisa diharap bantuannya. Di desa dulu, waktu kecil, tanpa disuruh bapak-simbok saya sudah bantu-bantu cari kayu bakar, ambil air di belik, menggembala sapi, ngarit rumput. Tidak ada capeknya lho, Bu.”

“Halaah, Pakee! Itu rak di ndeso sana. Waktu itu kamu rak jadi anak ndeso.

“Terus?”

“Ya sekarang lain to, Pak.”

“Lainnya?”

“Ya,  anak-anak kita sekarang jadi anak kota, seperti kita.”

“Lainnya itu apa to, Bunee.”

“Ya kalau anak kota itu, kalau hari Minggu begini ya dolan. Sepedaan, pit-pitan, sama teman-temannya. Jajan bakso…”

We-ah anak mulyo, ya? Anak ndoro, anak priyayi, ya?”

Bak-buk, bak-buk, bak-buk, buk-buk-buuuuuuk.

“Oh, Allah. Paak, Pak, wong tidak dibantu anak saja kok ya nggrundel.”

Lho, kamu itu bagaimana, sih. Jadi ibu kok tidak tahu caranya mendidik bocah. Nanti kalau gede jadi apa? Tidak prigel.”

“Paling tidak prigel nggebuk kasur, Paak.”

Hus, nggebuk itu penting, Bu. Kali ini kasur, lain kali apa saja yang harus digebuk, buk. Bak-buk, bak-buuk begini.”

Kemudian saya dengar anak-anak datang dengan sepeda mereka. Kring-kring-kring-kring.

“Halo Pak, Bu. Halo, selamat pagi.” Kring-kring-kring.

“Halo-halomu itu! Ayo sini rasain gebukanku. Anak manja! Ayo!”

Lho, lho, Pakee. Jangan main gebuk begitu, to, Pak.”

Heisy!  Wong wedok tidak tahu mendidik anak!”

Bak-buk, bak-buk, bak-buk, bukbukbuuuuk…

Saya hanya bisa melongo…

11 Maret 1997

Pustakaloka edisi minggu ini sengaja saya tampilkan tulisan Umar Kayam. Saya ingin mengajak Anda bernostalgia dengan Pak Ageng dan Mister Rigen – dirjen kitchen cabinet di nDalem Keagengan, beserta his family : Mrs. Nansiyem, Beni Prakosa dan Tolo-Tolo. Artikel di atas judulnya “Tak Gebuk, Kowe!” saya kutip dari salah satu buku Umar Kayam Satrio Piningit ing Kampung Pingit (SPKP), diterbitkan oleh PT Pustaka Utama Grafiti (2001) hal 26-28. SPKP ini merupakan buku ke-4 kumpulan kolom Umar Kayam dalam Harian Kedaulatan Rakyat (KR) Yogyakarta dari tahun 1997 – 1999, yang tetap mempertahankan gaya gleyengan, yaitu suatu bentuk penyampaian sindiran, protes, nasihat, usul dan sebagainya dengan bercanda, tidak ngotot, dan sering secara tidak langsung. Gleyengan demi gleyengan dalam buku ini mengalir lancar, ringan, tetapi niscaya tetap menggelitik kepekaan sosial kita, seperti 3 buku sebelumnya : Mangan Ora Mangan Kumpul, Sugih Tanpa Banda dan Madhep Ngalor Sugih, Madhep Ngidul Sugih.

Saya yang pernah kuliah dan bekerja di Yogyakarta antara tahun 1986 – 1993, tidak pernah ketinggalan membaca tulisan Umar Kayam di kolom KR. Tulisan Umar Kayam di kolom KR tersebut merupakan pendapat, komentar, kritik, saran dan sindiran. Kalau tidak salah ingat, tulisan “Tak Gebuk, Kowe!” ini muncul tak lama setelah Pak Harto – Presiden RI waktu itu, mengatakan akan menggebuk lawan-lawan politiknya.

Umar Kayam kelahiran Ngawi Jawa Timur, 30 April 1932, meraih gelar doktor dari Cornell University AS dan mengajar sebagai guru besar pada Fakultas Sastra Universitas Gadjah Mada sampai pensiun pada 1997. Ia pernah menjabat sebagai Direktur Jenderal (Dirjen) Radio, Televisi, Film Departemen Penerangan (1966-1969) dan Ketua Dewan Kesenian Jakarta (1969-1972). Umar Kayam dikenal sebagai seorang sosiolog, novelis, cerpenis, budayawan, dan juga aktor, ia memerankan Presiden Soekarno, pada film Pengkhianatan G 30 S/PKI dan didapuk sebagai Pak Bei dalam sinetron Canting yang dibuat berdasarkan novel karya Arswendo Atmowiloto. Umar Kayam meninggal dunia pada tanggal 16 Maret 2002.