Sweet July

Mas Kandam senyam-senyum sendiri selepas membuka amplop coklat begitu keluar dari ruangan Pak Bosnya. Itu bukan sembarang amplop. Meskipun amplopnya sudah lusuh (karena dipakai berbulan-bulan), di dalamnya terdapat lipatan kertas putih yang masih baru. Ya, kertas putih itu merupakan slip gaji karyawan.

Ia pantas bergembira-ria, karena di dalam slip gaji tersebut tercetak sebuah angka yang lumayan fantastis, kira-kira jumlahnya lima kali lipat dari gaji yang biasa ia terima. Perusahaan tempatnya bekerja, di awal Juli kemarin memberikan rapelan kenaikan gaji yang diperhitungkan sejak Januari ditambah bonus tiga kali gaji. Walah…. mak nyus tenan. Alhamdulillah.

~oOo~

Sudah menjadi kebiasaan di perusahaan tempatnya bekerja, gaji Mas Kandam akan naik setiap tahunnya. Meskipun kenaikan gaji tidak secara otomatis per awal tahun, namun pasti akan dibayarkan pada bulan berikutnya. Namun, ia tak menyangka baru bulan Juli ini rapelan gaji ia terima, biasanya sih, paling lambat pada bulan Maret ia sudah mengetahui berapa jumlah kenaikannya.

Pada akhir Mei kemarin kepala Mas Kandam senat-senut. Rapelan yang ia harapkan ternyata nggak ada. Penyebab utamanya adalah ketiga anaknya yang sekolah secara sundul-menyundul. Anak pertama, lulus SMP. Anak kedua lulus SD dan bungsunya masuk SD. Nah, ia dan istrinya sudah menghitung bajet biaya sekolah anak-anaknya yang jumlahnya jauh melebihi gaji bulanannya.

Kini persoalan tersebut terselesaikan sudah. Anak-anaknya bisa sekolah dengan tas dan sepatu baru mereka. Bagi Mas Kandam, ini sebagai Sweet July.

~oOo~

Kalau bagi Mas Kandam uang kaget tersebut jelas peruntukannya, yakni buat mberesin biaya sekolah anak-anaknya. Bagaimana dengan Mpok Jenab dan Bang Kodir?

~oOo~

Mpok Jenab sih biasa-biasa saja mendapatkan rapel dan bonus tiga kali itu. Ia menganggap, kalau sudah rejeki tak kan lari ke mana. Tentu saja, itu semua akan menambah pundi-pundi rekening di empat bank yang ia punya. Ia sudah hidup berkecukupan. Seperti motto hidupnya: jangan kaya-kaya amat, tapi jangan juga terlalu miskin.

Ia bersama suaminya sudah punya rencana matang, yakni melaksanakan umrah ramadhan. Entah, ia akan memilih di awal, di tengah atawa di akhir ramadhan sekalian berlebaran di Tanah Haram sana. Asli, ini benar-benar Sweet Juli.

Pripun dengan Bang Kodir?

Pagi ini ia menghadap Mas Suryat, yang dulu pernah menjadi atasannya. Dengan senyum sumringah, ia mengambil duduk di hadapan Mas Suryat.

“Semalam saya bermimpi nraktir bapak makan-makan di restoran mewah. Condrone napa nggih pak?”

Mas Suryat mengerutkan dahinya. Pandangannya menyelidik.

“Ada apa to Dir, pagi-pagi sudah ngajak main primbon-primbonan. Pantesan dari tadi mata kiriku kedutan terus. Habis dapat rejeki nomplok ya Dir?”

“Haiya itu pak, mangkanya saya menghadap pagi-pagi sekali seperti ini. Lah, waktu terbangun dari mimpi saya kok dheleg-dheleg. Mikir… gitu…. saya punya tanggungan apa ya dengan bapak?”

Halah… rupamu Dir. Ngomong kok muter-muter. Sak jane karepmu apa? Mau ngasih duit ke aku?”

Inggih pak. Saya mau nglunasi hutang saya…”

“Hutang yang mana?”

“Tiga tahun lalu.”

“Aku wis lali. Nggak usah kamu pikirin. Anggep wae lunas.”

“Banyak loh pak hutang saya. Kok bapak lupa?”

“Ya lupa, wong sudah lama.”

“Jadi bener ini diikhlasin pak? Eh, dianggap lunas?”

“Iya!”

Bang Kodir tersenyum lebar begitu keluar dari ruangan Mas Suryat. Ia rogoh kantong  celananya. Delapan lembar uang seratus ribuan itu nggak jadi berpindah tangan. Masih utuh. Sepulang kantor nanti ia akan mampir Carefour, membeli sepeda lipat untuk anak perempuannya.

Sweet July yang nyiamik buat anaknya Bang Kodir.