Susup

Suara lelaki tua itu terdengar menyayat hati. Entah berapa kali ia mengaduh kesakitan.

Ampun ndoro…. kula mboten salah…. ampun ndoro… ampun!” lelaki tua itu mengulang permintaan maafnya kepada para prajurit yang menyiksanya.

Piye?! Ora gelem ngaku? Sampeyan telik sandi dari mana?! bentak prajurit yang pipinya bergaris codet, disertai pukulan ke perut lelaki tua.

Kula niki petani ndoro. Nami kula Wakino, tiyang saking tlatah Majapahit mriki,” rintih lelaki tua yang bernama Wakino itu.

Gubrak!! Wakino tersungkur akibat tendangan prajurit yang lain. Si codet mendengus. Sudah hampir sepuluh puluh jam ia mengorek informasi dari mulut Wakino, tetapi sia-sia belaka. Wakino, seorang buruh tani itu sedang pingsan.

Si codet dan prajurit lain yang bergabung dalam kesatuan Bhayangkari di bawah pimpinan Gajah Enggon itu pantas gusar kepada Wakino. Memang salah Wakino apa?

Tadi pagi, Wakino pulang dari tanah garapannya. Kebetulan jalan yang biasa ia lewati ditutup oleh para pengawal Prabu Hayamwuruk, maka ia mengambil jalur alun-alun Bubat.

Ia lewat begitu saja di depan panggung kehormatan Prabu Hayamwuruk, tanpa ada seorang pun yang menegurnya. Namun ketika ia sampai di ujung panggung, tiba-tiba ia disergap oleh sepasukan prajurit Bhayangkari Majapahit.

Tak sadarkah Prabu Hayamwuruk ada kawulanya yang nylonong lewat depannya?

Pandangan Prabu Hayamwuruk dan Mahapatih Gajah Mada menerawang jauh, menunggu kedatangan tamu agung dari Pajajaran. Di rombongan itu terdapat calon istri Prabu Hayamwuruk, Dyah Pitaloka yang rupawan.

Ia dijebloskan ke dalam ruangan sempit dan diinterograsi lima prajurit.

Wakino siuman. Matanya masih berkunang-kunang. Lamat-lamat ia mendengar bentakan seorang prajurit, “Kamu ingin membunuh sang Prabu, ya?!”

“mBoten, kula namung kawula alit, ndoro….!”