Surtikanthi, awal perjumpaan (2)

Karna memandang langit-langit kamarnya, sementara Surtikanthi rebah di dada suaminya itu. Diam, menunggu ombak tenang kembali. Cukup menyita waktu mereka. Karna mengecup tangan Surtikanthi, sementara jemari Surtikanthi memainkan cuping telinga suaminya.

“Telinga ini, selalu mengingatkanku tentang dirimu, mas. Bisakah kamu ceritakan kembali asal-usul nama Karna?”

Karna tersenyum. Ia pun segera mengisahkan kelahirannya di dunia ini kepada Surtikanthi, istri yang telah memberikan satu putra padanya.

~oOo~

Alkisah, Sura – kakek Krisna, mempunyai putri yang cantik dan baik budinya yang bernama Pritha. Sementara, Kuntiboja – sepupu Sura, tidak mempunyai seorang anak pun. Atas kebaikan Sura, Pritha diberikan kepada Kuntiboja untuk dijadikan anak angkatnya. Sejak saat itu, Pritha dikenal sebagai Dewi Kunti, sebuah nama yang mengikuti nama ayah angkatnya itu. Saat itu, Kunti masih klas 5 SD yang bersekolah di SDN 1 Yadawa Timur.

Di rumah ayah angkatnya itu tinggal seorang resi yang bernama Durwasa. Bukan menetap, tetapi cukup lama tinggal di sana dan Kuntilah yang sering melayani kebutuhan Resi Durwasa. Karena dalam melayani dengan ketekunan, kesabaran, dan perhatian maka Resi Durwasa sangat senang sehingga ia memberikan hadiah mantra sakti kepada gadis kecil itu. Alasan utama memberikan mantra sakti itu, Resi Durwasa melihat dengan batinnya, kelak Kunti akan mengalami nasib buruk dengan suaminya.

Sebetulnya mantra yang diberikan itu sangat aneh bagi anak seusia Kunti. Sebuah mantra yang bisa untuk memanggil dewa – siapapun dewa itu, lalu dewa akan muncul di hadapannya dan memberikan seorang anak yang mempunyai keagungan seperti dewa yang dipanggilnya tersebut.

Suatu hari, Kunti sangat penasaran dengan mantra itu. Dari jendela kamarnya, ia menatap matahari lalu mengucapkan mantra dan memanggil Batara Surya yang sedang memancarkan cahaya masuk ke dalam kamarnya. Kunti terkejut, setelah ia mengucapkan mantra tiba-tiba saja langit menjadi gelap digantikan oleh awan hitam.

Tanpa disadarinya, Batara Surya telah berdiri di hadapannya menatap wajah jelita Kunti dengan pandangan takjub dan penuh gairah.

“Hmm… bocah iki kok ayu tenan, siapa namamu nduk?”

“Akkk..ku… Kunti.. lalu sii..si…apa paduka ini?”

“Ha..ha.. akulah Batara Surya, dewa yang kamu panggil dengan mantramu tadi!”

“Oh.. aku hanya main-main dengan mantra sakti itu, kenapa bisa jadi begini sih… Ampun dewa, aku jangan diapa-apain ya?”

Xixixi… salahmu sendiri Kunti. Ini sudah garis nasibmu. Kamu harus mempunyai anak dariku!”

“Oh… Batara Surya, sekali lagi ampuni diriku. Saat ini aku seorang gadis yang belum menikah dan hidupku masih bergantung kepada ayah angkatku. Aku belum siap menjadi seorang ibu, apalagi mempunyai anak. Benar, tadi itu aku cuma penasaran dengan mantra sakti dari Resi Durwasa. Piye iki…”

Sakarepmu, nduk. Aku tidak bisa kembali ke khayangan sebelum menyentuhmu. Ini konsekuensi dari mantra sakti itu.”

Kunti menutup mata ketika Batara Surya mendekatinya. Entah apa yang dilakukan oleh dewa itu Kunti tidak dapat merasakannya, karena ia pingsan.

Setelah siuman, ia melihat Batara Surya masih berdiri di sebelahnya. Dewa itu tersenyum tetapi Kunti masih gemetar ketakutan.

“Oh.. dewa, dunia akan mencemoohkan aku karena hamil tanpa ada suami di sisiku!”

“Tidak Kunti, tidak akan ada yang mencemooh atawa menghinamu. Setelah kamu melahirkan putraku, kamu akan kembali menjadi perawan.”

“Tapi.. bagaimana aku bisa menyembunyikan kandungan selama sembilan bulan, dewa?”

“Jangan risau dan kuatir. Sebentar lagi kamu akan melahirkan putramu melalui telingamu.”

Setelah berbicara seperti itu, Batara Surya hilang dari hadapan Kunti. Kamar senyap. Tak berapa lama, dari telinga Kunti keluar sebuah cahaya benderang dan terdengar tangis seorang bayi.

Kunti segera menangkap bayi itu. Seorang bayi yang lahir dilengkapi dengan senjata sakti dan hiasan di telinganya, anting sakti. Ia sangat tampan, wajahnya sangat mirip dengan ayahnya, Batara Surya, sang Dewa Matahari.

Kelahiran bayi itu tidak membuatnya bahagia, justru ia gelisah dan bingung. Bagaimana caranya untuk menghindarkan malu mempunyai anak tanpa bersuami terlebih dahulu. Kunti tidak tenang di kamarnya, ia sedang merencanakan membuang anak itu.

Arkian, dia mengambil bayi itu lalu menaruhnya di sebuah kotak kayu dan menghanyutkan di sungai. Kunti menangis. Dalam hati kecilnya ia merasa bersalah membuang anaknya sendiri. Ia berlari kembali ke rumahnya.

~oOo~

Karna meneteskan air mata jika mengingat kisah itu. Entah apa yang ada di hati Kunti esok hari ketika menyaksikan kedua putra kandungnya berperang adu kesaktian di perang Bharatayuda.

“Surtikanthi, itulah asal-usul Karna suamimu ini. Karna sendiri berarti telinga, karena aku lahir dari telinga ibuku. Kemudian banyak orang yang menyebut namaku dengan Basukarno, Radheya, Basuseno, Wresa, Sutaputra, Anggadipa, Suryaputra, Suryatmojo, Talidarma, ataupun Bismantaka.”

“Lalu bagaimana nasib bayi yang ada di kotak itu, mas?”

“Sabar honey, nanti akan aku ceritakan padamu..”

Alunan ombak lautan pelan-pelan menunjukkan riak-riak gelombangnya. Angin panas semakin mempercepat terjadinya deburan ombak dahsyat berikutnya. Gunung berapi yang berada di tengah lautan ikut bergolak, siap memuntahkan lahar panasnya. Menyatu dalam irama nyanyian laut biru.

Sebelumnya                                                 Setelahnya