Surtikanthi, awal perjumpaan (1)

Surtikanthi lemas, terpuruk di ujung pembaringan. Kabar yang ia terima via ponselnya mengabarkan kalau Karna – belahan jiwa dan kekasih hatinya itu, gugur di medan perang Bharatayudha. Air matanya kering sudah, terkuras membasahi bantal di atas peraduan.

Sebenarnya, semalam Surtikanthi sudah mempersiapkan hati ketika Karna berpamitan dan minta restunya untuk tanding melawan Arjuna, yang tak lain adalah adiknya sendiri yang terlahir dari rahim ibunya, Kunti. Tetapi, berita gugurnya Karna tak pelak mengguncangkan jiwanya juga.

“Surtikanthi kekasihku, perang tanding melawan Arjuna memang takdir yang harus aku jalani dan tak bisa dipungkiri. Dewata memang menggariskan nasib demikian, aku mesti berperang dengan adikku di padang Kurusetra. Dalam perang nanti, aku akan bertempur habis-habisan.”

“Bukankah mas Karna bisa melawan takdir itu?”

“Tidak Surtikanthi. Aku akan ceritakan sebuah kisah tentang perjalanan ksatriaku.  Aku pernah berguru pada profesor yang juga seorang brahmana sakti yang bernama Parasurama, seorang brahmana berumur panjang. Ia pernah mengajar Drona. Parasurama juga punya pengalaman yang buruk dengan kaum ksatria, maka untuk bisa menjadi muridnya aku menyamar sebagai brahmana muda. Dan memang akhirnya aku diterima sebagai murid Parasurama.”

Surtikanthi mendengarkan cerita Karna di atas peraduan sambil mengelus tangan kanan suaminya.

“Pada suatu ketika, sehabis mengajarkan suatu kitab kepadaku, Profesor Parasurama tertidur di atas pangkuanku. Aku sendiri membaca kitab yang diajarkan. Tanpa kusadari datang seekor serangga dan menggigit pahaku. Oh, sakit sekali, Surtikanthi. Aku tak berani bergerak, untuk menjaga agar guruku itu tidak terbangun. Gigitan serangga itu ternyata dalam sekali sehingga membuat luka yang mengeluarkan darah.”

“Lalu, apa yang terjadi kemudian mas?”

“Ketika guru terbangun dari tidurnya, ia sangat terkejut melihat pahaku berlumuran darah. Ia marah menyaksikan kenyataan itu. Guruku menyadari kalau aku bukan seorang brahmana, karena kemampuanku menahan rasa sakit yang luar biasa. Dan itu hanya bisa dilakukan oleh seorang ksatria.”

Karna menghela nafas. Surtikanthi menatap mata Karna. Mereka saling tersenyum.

“Guruku merasa telah aku tipu. Ia murka dan serta merta mengutukku. Kelak, katanya, pada saat terjadi perang tanding  antara hidup dan mati melawan seorang musuh terhebat, aku akan lupa pada semua ilmu yang telah ia ajarkan padaku. Lalu, ia memberikan kutukan kedua kepadaku..”

“Apa itu mas?”

“Ketika aku mengendarai keretaku, aku menabrak mati seekor sapi milik seorang brahmana yang sedang menyeberang jalan. Surtikanthi, kutukan ini benar-benar sudah terjadi, kira-kira setahun lalu ketika aku dalam perjalanan dari Awangga menuju Hastinapura.”

“Apakah mas Karna tidak meminta maaf kepada brahmana pemilik sapi?’

“Aku akan melakukannya, tetapi tiba-tiba brahmana pemilik sapi muncul dan mengutuk diriku.”

“Oh, kutukan berantai… Apa yang ia ucapkan mas?”

“Kelak ketika aku berperang melawan musuh terhebatku, roda keretaku akan terperosok ke dalam lumpur.”

“Mas… aku takut kehilangan dirimu.”

“Aku harus menunaikan sebuah takdir. Surtikanthi, kamu sudah mengantuk?”

Kembali, mereka saling menatap, embusan angin yang dahsyat seakan memenuhi ruangan, menyapu semua ketakutan, keraguan dan kegelisahan. Penuh kerinduan, tangan mereka saling bersentuhan, tubuh mereka menyatu. Inikah angin atawa apikah yang menelan mereka?

Gelombang demi gelombang datang berdeburan membuat mereka semakin mendekat, semakin meneguhkan gelora di dada mereka. Hanya hembusan nafas mereka yang terdengar. Sontak membuat laut berombak dahsyat dan menyatukan mereka.

Lalu, hanya damai yang dirasa.

Setelahnya