Sorban Ajisaka

Lanjutan dari Algojo Prabu Dewatacengkar

Masih duduk di kursinya, Algojo membuka map dan jemarinya menuju tumpukan kertas paling bawah. Sejurus kemudian ia lepaskan dari binder, lalu ia perhatikan nama di sana: Ajisaka. Kata-kata yang sudah terucap dari mulut Algojo tak bisa ditarik kembali. Hari itu memang jatahnya Ajisaka untuk dibawa ke istana bertemu dengan Prabu Dewatacengkar.

Tanpa perlawanan, Ajisaka menuruti perintah Algojo untuk naik ke sebuah truck tua yang selama ini menjadi kendaraan Algojo berkelana keliling negeri.

“Aku lihat tak ada takut di raut wajahmu!”

“Kalau memang ajalku tiba hari ini, aku tak kuasa menolaknya. Jadi tak ada alasan untuk takut.”

Algojo diam-diam mengagumi keteguhan hati Ajisaka. Algojo tahu persis, siapa pun yang ia bawa menghadap Prabu Dewatacengkar, habis sudah. Tinggal tulang-belulang nantinya, sebab akan disantap oleh Raja Medang Kawulan itu.

***

“Anak muda yang engkau bawa kali ini sungguh ranum, Algojo. Seandainya saban hari engkau membawa pemuda seperti ini betapa gembiranya hatiku!”

Air liur menetes dari sudut bibir raja yang doyan makan manusia tersebut. Ajisaka berasa sangat jijik melihat muka Prabu Dewatacengkar. Ia tak bisa banyak bergerak, sebab tangan dan kakinya diikat dengan rantai oleh Algojo.

“Jadi, saban hari engkau menghancurkan harapan pemuda negeri Medang Kawulan dengan memakan mereka hidup-hidup, Dewatacengkar?”

“Hmm… berani juga engkau memanggil namaku tanpa sebutan prabu. Tapi apa pedulimu dengan nasib anak-anak muda yang aku kudap dagingnya?”

Hidung Dewatacengkar mengendus rambut Ajisaka.

“Jika misalnya anak-anak muda Medang Kawulan sudah habis, siapa yang akan engkau makan?”

“Anak-anak kecil, bahkan bayi sekali pun!”

“Kalau mereka nantinya juga habis, apakah orang-orang tua yang engkau makan?”

“Iyaaahh….!!!”

Dewatacengkar mulai gusar.

“Apa enaknya memakan daging manusia tua? Cara berfikirmu terbalik. Semakin hari bukannya engkau makan lebih enak, tetapi malah daging alot dan keras yang engkau nikmati.”

“Pendapatmu benar, Ajisaka. Algojo, sekarang pergilah. Cari orang tua dan bawalah ke sini!”

Untuk sementara kematian Ajisaka tertunda. Tak lama kemudian Algojo datang membawa seorang lak-laki setengah baya ke hadapan Prabu Dewatacengkar.

“Wahai Dewatacengkar, raja diraja Medang Kawulan. Sepantasnya  bagi seorang raja yang akan bersantap makan, di sana ada etika jamuan makan yang mengatur tata-cara makan yang benar seperti cara duduk, cara berbicara, penggunaan alat makan bahkan bagaimana cara minum.”

Table manner, maksudmu?”

“Benar. Table manner itu penting sebab dari sana seseorang akan terlihat jati dirinya. Saat makan bukan hanya diartikan sebagai ritual pengisi perut belaka!”

Prabu Dewatacengkar terkesima oleh ucapan Ajisaka. Ia segera memanggil chef istana untuk mempersiapkan table manner. Dalam waktu yang tidak lama, table manner telah siap. Ketika Dewatacengkar membuka serbet dan akan diselipkan di leher bagian depan, Ajisaka melarangnya.

“Serbet itu terlalu kecil, wahai sang Prabu. Pakailah sorbanku ini!”

Ajisaka segera melepas sorbannya dan memberikan kepada Dewatacengkar. Rupanya Dewatacengkar kesulitan membuka dan mengurai sorban Ajisaka.

“Algojo, buka ikatan rantai Ajisaka supaya ia bisa membantu membuka dan mengurai sorban di leherku!”

Setelah ikatan rantai terlepas Ajisaka menghampiri Prabu Dewatacengkar. Sorban yang telah ada di tangannya, ia jeratkan ke leher raja Medang Kawulan. Ia tarik kencang-kencang kedua ujung sorban dengan tidak memberi kesempatan Dewatacengkar untuk bernafas.

Dalam hitungan lima detik, Dewatacengkar mati.