Bareng Gerakan Tiga-A wis dibubarake, Bung Karno ngusulake nyang pemerintah Militer Jepang lumantar Shimizu, supaya ing tanah Jawa diedegake gerakan massa, gerakan rakyat. Usul ditampa, mung bae gerakan sing diedegake kuwi tujuwane: mbiyantu Perang Asia Raya. [Subagijo IN dalam Gempilan Sejarah: 3,5 Taun Dijajah Jepang, Empat Serangkai, Pemberontakan PETA – Majalah Bahasa Jawa Panjebar Semangat No. 38 – 21 September 2013].
Itulah tulisan terakhir Soebagijo IN yang saya baca sebelum ia meninggal dunia minggu lalu dalam usia 89 tahun. Di akhir tulisan tersebut ditutup dengan (Ana Tutuge) yang artinya masih ada kelanjutannya.
Saya mengenal nama Soebagijo Ilham Notodidjojo sejak SMA karena Bapak langganan koran Suara Merdeka. Saban edisi Minggu, ada kolom Soebagijo IN yang rasa bahasa tulisannya sangat renyah dan mudah dicerna. Saya banyak belajar sejarah dari tulisan-tulisan Soebagijo IN tersebut.
Dikutip dari Tempo edisi 29 September 2013, Soebagijo IN mulai menjadi wartawan Antara di Yogyakarta pada 1946 – 1949, ketika kantor berita itu mengungsi bersama para pemimpin pemerintahan dari Jakarta atas undangan Sri Sultan Hamengku Buwono IX. Pada waktu yang bersamaan, ia menjadi Pemimpin Redaksi Api Merdeka, majalah Ikatan Pelajar Indonesia, dan Jiwa Islam, majalah Gerakan Pemuda Islam Indonesia, di Yogyakarta. Pada 1949, ia pindah ke Surabaya menjadi Wakil Pimpinan Redaksi Panjebar Semangat sampai 1958. Ia sempat pula menjadi redaktur pelaksana harian Surabaya Post pada 1954 – 1959. Tapi, pada 1958. ia pindah ke Jakarta dan bergabung kembali dengan Antara.
Dua tahun belakangan ini saya kembali menikmati tulisan Soebagijo IN dalam bahasa Jawa melalui Majalah Panjebar Semangat. Lagi-lagi, ia menulis aneka sejarah kemerdekaan RI.
Masih saya kutip dari Tempo, Soebagijo IN lebih dikenal sebagai wartawan kantor berita Antara, tapi ia juga pernah memimpin Panjebar Semangat. Ia tak hanya merasa lebih nyaman menggunakan bahasa Jawa dalam tulisannya, tapi agaknya juga karena ia ingin berbagi pengetahuan dengan masyarakat luas yang bukan kaum elite. Para pembaca Panjebar Semangat terutama hidup di pedesaan di Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Yogyakarta. Para pelanggannya juga termasuk keturunan transmigran Jawa di Lampung serta masyarakat Jawa di Suriname dan Kaledonia Baru. Majalah ini, yang didirikan oleh dokter Soetomo, adalah media pers satu-satunya di Indonesia yang mulai terbit sebelum Perang Dunia II, yaitu pada 2 September 1933, dan masih bertahan sampai sekarang.
Kalau di 2011 kehilangan Rosihan Anwar seorang wartawan senior yang sejarawan, sastrawan sekaligus budayawan, kini kita kehilangan lagi Soebagijo IN wartawan senior yang juga sejarawan.