Siasat Sultan Agung menyerang Batavia

Pemudik asal Mataram (Solo, Yogya, dan sekitarnya) yang merantau ke Batavia (Jakarta), ada yang menjadi pemenang ada pula yang menjadi pecundang. Menjadi pemenang berarti bisa hidup mulya di tengah persaingan yang sangat ketat. Sementara yang kalah dan menjadi pecundang, hidup serba kekurangan dan menjadi beban kota Jakarta. Siapa suruh datang ke Jakarta nekjika tanpa bekal yang mencukupi?

~oOo~

Sejarah telah mengajari hal itu. Sultan Agung, raja besar Mataram pernah menyerang dan mengepung Beteng Batavia-nya VOC. Peristiswa itu terjadi tahun 1628 – 1629. Kurang kuat apa coba pasukan Mataram saat itu? Siasat dan strategi penyerangan yang digunakan pun cukup canggih, namun toh pasukan Mataram kalah, meskipun dalam penyerangan dan pengepungan Beteng Batavia menyebabkan Gubernur Jenderal Jan Pietersz Coen mati karena terserang disentri.

Pasukan Mataram dipimpin oleh panglima perang yang sangat terkenal kesaktiannya, seperti Mandurareja, Bahureksa dan Sura Agul-agul. Ketiganya di bawah komando Panembahan Purbaya. Siasat dan strategi penyerangan memperhitungkan pranata mangsa atawa penanggalan kegiatan usaha pertanian.

Penyerangan akan dilakukan pada bulan Agustus. Jarak Mataram – Batavia memerlukan waktu 90 hari, ditambah waktu untuk istirahat dan persiapan penyerangan.  Rute yang ditempuh pasukan Mataram adalah via Pantura Jawa Tengah yakni Pekalongan – Tegal – Cirebon, lalu membelok ke Sumedang, Cianjur dan Buitenzorg atawa Bogor atawa Pakuan. Dari sana, mereka menuju Batavia menyusuri sungai Ciliwung.

Untuk memenuhi logistik pasukan Mataram yang jumlahnya banyak itu, disertakan para petani. Sepanjang perjalanan mereka harus bercocok tanam. Di sinilah dipakai hitungan pranata mangsa. Kegiatan penyerangan harus dicocokkan dengan pranata mangsa ini. Bulan Desember – Pebruari, Sultan Agung tidak mengadakan perang karena petani harus giat bercocok tanam hingga masa panen di bulan Maret – Mei. Di wilayah yang disinggahi pasukan Mataram dibangun lumbung padi. Perang hanya dimungkinkan selepas panen dan padi telah dimasukkan ke lumbung, yakni pada bulan Juli – September. Lalu, pada bulan Oktober – Desember, selain menggarap sawah dan menanami padi, Sultan Agung melakukan pemindahan penduduk ke pemukiman yang baru.  Tak heran, desa-desa yang dilewati oleh pasukan Mataram menjadi serba makmur, pasar-pasarnya penuh dengan aneka barang dagangan.

Wah, rupanya strategi Sultan Agung terbaca oleh VOC. Mereka tahu betul kalau Batavia tidak akan diserang Sultan Agung pada kisaran bulan Desember – Januari. Maka, di tahun 1628 dan 1629 Batavia diserang pasukan Mataram yang bersembunyi di kawasan hutan (kini di sekitar Jatinegara). Untuk mencegah penyerangan berikutnya, VOC membabat hutan tersebut agar pasukan Mataram tak bisa bersembunyi di sana.

Syahdan, pada penyerangan berikutnya pasukan Mataram berhasil mengepung Beteng Batavia dan menjebol temboknya. Sebelumnya, mereka membendung sungai Ciliwung. Maklum, saat itu musim kemarau jadi pembendungan sungai mudah dilakukan, alirannya dibelokkan ke sungai lain. Akibatnya, aliran sungai Ciliwung ke arah Beteng VOC kering, penuh bangkai hewan, tinja terserak di mana-mana1 dan terjadi penyebaran berbagai penyakit antara lain disentri yang menyebabkan Gubernur Jenderal Jan Pietersz Coen mati.

Penyerangan yang dilakukan secara terus-menerus itulah yang menyebabkan VOC kehabisan mesiu. Tetapi, VOC tak hilang akal. Meriam-meriam VOC diisi dengan tinja dan ditembakkan ke arah pasukan Mataram2. Serangan tinja itu membuat kalang-kabutnya pasukan Mataram. Mereka yang terkena tinja berlari dan menerjunkan diri ke sungai Ciliwung untuk membersihkan diri. Benda najis dan menjijikkan itu telah membuat semangat perang pasukan Mataram turun drastis. Sebagian besar dari pasukan Mataram memilih balik-kanan meninggalkan Beteng VOC.

Dari peristiwa inilah nama Betawi muncul. Pasukan Mataram yang terkena tinja berteriak: “mambet tai…. mambet tai…..mbet tai….mbetai….” (bau tahi), kemudian dalam percakapan sehari-hari lahir istilah mBetawi.

~oOo~

Para perantau datang ke Jakarta bukan untuk menyerang Beteng-nya, tapi mengadu nasibnya sendiri. Entah, apakah nasibnya nanti menang atawa malah menjadi pecundang. Pulang ke kampung halaman membawa bau wangi atawa bau tahi.

Catatan kaki:
1  Pada masa penyerangan Sultan Agung rumah-rumah di Batavia belum memiliki kamar mandi atawa kakus. Maka, tinja dibuang ke mana saja termasuk ke kanal/sungai. Pada tahun 1630 muncul aturan baru bahwa tidak boleh buang tinja sebelum pukul sembilan malam. Sementara, di Eropa baru mengenal WC da saluran pembuangan air baru  pada abad ke-19.
2 Soal penembakan dengan tinja terhadap pasukan Mataram, menurut Dr. De Graaf itu bukan hal tidak mungkin terjadi karena dalam laporan Valentijn, benteng pertahanan Maagdenburg hingga bertahun-tahun dalam abad 17 disebut Kota Tai.