Siaga (menunggu) banjir

Hujan pertengahan Januari ini sedang lucu-lucunya. Ia tak tahan jika hanya menggantung sebagai sekar langit, maka ia memilih menjadi rinai yang membasahi bumi. Hujan adalah anugerah. Hujan deras berarti anugerah Tuhan banyak sekali diberikan kepada umat manusia di bumi.

Bumi seakan tak mampu menampung curahan air hujan, sebab tempat cekungan habis sudah, ia mengalir ke tempat datar dan merangkak ke tempat yang tinggi. Coba dengarkan dendang bidadari yang tinggal di hamparan pelangi: serba dingin dan anyeb, lantai, karpet, kasur, bantal, dan sofa… kecuali di atas kompor.

Saat ini saya sedang siaga (menunggu) datangnya banjir. Tak ada rasa was-was seperti halnya kebanjiran pertama di April 2010 lalu. Lebih siap dibandingkan menghadapi banjir kedua di Januari 2013. Beberapa barang yang diamankan di lantai 2 pada banjir 2010 dan 2013 lalu sampai kini masih belum diturunkan. Nekjika Anda berkunjung ke rumah saya, jangan kaget kalau meja tamu di atasnya terdapat banyak laci lemari atawa meja makan penuh pernak-pernik barang-barang kecil atawa mesin cuci yang nangkring di atas dua kursi atawa tangga menuju lantai dua menjadi rak sepatu. Begitulah cara menyelamatkan barang-barang jika nanti luapan Citarum mampir masuk rumah.

Ukuran ketinggian air di dalam rumah berdasarkan pengalaman kebanjiran dua kali setinggi dengkul saya. Jadi cara mengamankan barang-barang tersebut ditaruh kira-kira lebih tinggi daripada dengkul.

Hujan yang turun tiada henti telah memberikan rejeki bagi pebisnis binatu, buktinya dalam seminggu ini ada 20 kg pakaian kotor saya alihdayakan kepada jasa binatu. Jika mencuci sendiri rasanya akan lama keringnya, wong sinar matari kalah oleh rintik hujan. Demikian salah satu cara Gusti Allah menebar rejeki di bumi. Yakinlah, bahwa rencana Gusti Allah jauh lebih indah dari apa yang kita pinta maupun kita duga. Bikin enak aja.

Dalam situasi seperti ini selalu saja ada berita-berita yang sulit dikonfirmasi kebenarannya: bendung Jatiluhur akan dibuka pintunya, sebab nggak muat air lagi.

Semua warga siaga, menunggu pengumuman dari pelantang masjid, kapan siap-siap untuk mengungsi. Sambil terjaga, saya ingat dendang bidadari bahwa hanya kompor yang menghangatkan di saat semua sedang berasa anyeb. Maka, saya menjerang air di atas kompor untuk menyeduh kopi.

Mudah-mudahan dapat mengganjal datangnya kantuk.