Senjakala sebuah tahta

Persahabatan RM Ario Trengginas dengan Kanjeng Adipati Subandi sudah berlangsung sejak delapan belas tahun lalu. Sebuah persahabatan yang diawali oleh sebuah konflik di antara keduanya.

Sebelum reformasi bergulir, Raden Ario Subandi yang saat itu menjadi prajurit bela negeri ditunjuk oleh petingginya untuk menduduki jabatan adipati. Adipati Subandi yang mempunyai sifat tegas dan sedikit brangasan mulai membenahi pemerintahan kadipaten yang dipimpinnya. Nayakapraja di bawah pimpinannya akan gemetar bahkan terkencing-kencing jika kena marah Adipati Subandi karena kesalahan yang dibuatnya.

Memasuki tahun kedua pemerintahannya, Adipati Subandi mulai nyaman dengan kursinya. Ia merasakan bagaimana saktinya semua ucapannya. Ia mulai jumawa. Suatu ketika ia bermaksud mendirikan kerajaan korporat yang dikelola oleh para kedibalnya. Ia mengincar salah satu sudut pekarangan nDalem Suryatmajan milik RM Ario Trengginas.

Hebatnya, tanpa malu-malu Adipati Subandi mendatangi RM Ario Trengginas, berdua saja dengan kusir keretanya. Terjadi perkenalan di antara keduanya. Usia Adipati Subandi dua puluh tahun di atas RM Ario Trengginas. Seperti bapak dan anak.

“Kanjeng Adipati boleh menggunakan tanah pekarangan saya, tapi harus jelas statusnya. Mau dibeli atawa cuma sekedar magersari!”

“Baiklah, Denmas. Aku akan urus semuanya!”

Janji hanyalah janji belaka. Esoknya, para kedibal Adipati mulai menggarap pekarangan nDalem Suryatmajan. Pagar dirobohkan dan tanaman dicabuti. Melihat itu semua, RM Ario Trengginas marah. Ia perintahkan para kedibal Adipati untuk menghentikan pekerjaannya. Ia merasa belum ada kesepakatan yang jelas dan tindak lanjut pertemuan sebelumnya dengan Adipati Subandi.

Entah apa yang dilaporkan oleh kedibal kepada sang Adipati, sehingga membuatnya marah besar. Ia memerintahkan para prajuritnya untuk menyeret RM Ario Trengginas ke hadapannya. Warta kemarahan sang Adipati cepat tersebar seantero kadipaten. Rumor yang terdengar, terjadi pemberontakan oleh RM Ario Trengginas. Tapi siapa itu RM Ario Trengginas? Dari keluarga kerajaan manakah ia, sehingga berani-beraninya melawan sang Adipati? Begitulah bisik-bisik yang sampai di telinga RM Ario Trengginas.

“Jangan pernah menyeret saya ke hadapan Adipati. Bilang kepada dia, saya akan datang sendiri bukan kepada Adipati, tetapi kepada seorang sahabat yang bernama Raden Ario Subandi!”

Para prajurit membubarkan diri. RM Ario Trengginas mempersiapkan kereta, menuju ke pendapa kadipaten. Sungguh, dalam hati kecilnya RM Ario Trengginas gentar juga mendatangi seorang penguasa. Tapi sudah kepalang basah.

“Sombong sekali kamu Denmas!”

“Ampun Kangmas Subandi…. Saya kemari….”

“Adipati… Subandi…!!”

“Tidak, saya mendatangi Kangmas Subandi. Persoalan kita adalah masalah pribadi. Masalah pekarangan nDalem Suryatmajan adalah urusan pribadi Subandi dan Ario Trengginas, sebagai pribadi bukan sebagai Adipati.”

“Lalu, apa mau kamu Denmas?”

“Saya hanya mengingatkan, kita belum ada kesepakatan tertulis mengenai pekarangan nDalem Suryatmajan. Jangan sampai masalah sepele seperti ini akan mengurangi kewibawaan Kanjeng Adipati di mata rakyat kebanyakan. Saya mendengar, ternyata tidak hanya pekarangan saya yang Kangmas acak-acak, tetapi banyak. Semua tanpa kesepakatan kedua belah pihak.”

“Dan hanya kamu yang berani melawanku, Denmas!”

“Sekali lagi, saya mengingatkan untuk kewibawaan Kanjeng Adipati. Tanah yang cuma sepetak, akan menghancurkan tahta panjenengan.”

RM Ario Trengginas mohon diri, dan ajaibnya Kanjeng Adipati menyertai kepergian RM Ario Trengginas hingga ke keretanya. Lalu, ia memeluk RM Ario Trengginas sambil berbisik.

“Terima kasih sudah mengingatkan, Denmas!”

Sami-sami, Kangmas.”

Adegan itu disaksikan oleh puluhan nayakapraja kadipaten. Sejak saat itulah, mereka berdua sering bertemu, saling berdiskusi dan tetapi tidak ada kolusi. Hanya persahabatan belaka.

Tahun keempat, terdengar kabar Kanjeng Adipati akan ditarik masuk barak keprajuritan. Memang, dari kerajaan ada peraturan baru kalau prajurit aktif dilarang menduduki jabatan adipati atawa tumenggung. Para nayakapraja dan teman-temannya mulai menjauhi Raden Ario Subandi, kasak-kusuk mendekati kediaman calon Adipati baru. Tetapi tidak untuk RM Ario Trengginas. Selepas maghrib ia mendatangi RM Ario Trengginas di baraknya.

“Denmas, kamu orang pertama yang datang kepadaku setelah aku tidak jadi Adipati lagi.”

“Bukankah sahabat saya itu Kangmas Subandi, bukan sang Adipati?”

Persahabatan itu, berlangsung hingga enam tahun berikutnya.

“Denmas, bagaimana pendapatmu kalau aku mencalonkan diri jadi Adipati? Toh, kini aku sudah lepas tugas sebagai prajurit, lagi pula ini pertama kalinya dilakukan pemilihan Adipati langsung melalui suara rakyat kadipaten. Aku ingin memakmurkan kadipaten, yang enam tahun lalu aku tinggalkan. Piye?”

Sumangga kersa, Kangmas.”

Memang terbukti, rakyat masih menghendaki Kanjeng Adipati Subandi. Karena kesibukan masing-masing, kedua sahabat menjadi jarang bertemu meskipun komunikasi keduanya masih terjalin dengan baik.

~oOo~

Di suatu tempat yang hanya diketahui oleh Ario Trengginas dan Subandi. Mereka bertemu, sangat rahasia.

“Denmas, masabaktiku tinggal beberapa bulan lagi. Aku ingin memperpanjang menjadi Adipati lagi.”

“Masak bisa, bukankah panjenengan sudah duduk jadi Adipati lima tahun kali dua?”

“Ya, memang tidak bisa. Tetapi aku tetap ingin berada di tahta kadipaten, meskipun hanya menjadi patih, orang kedua.”

“Oh… kekuasaan… !”

“Bagaimana Denmas?”

“Saran saya, jangan. Lebih baik Kangmas mengabdi jadi Pandhita. Ilmu panjenengan akan sangat bermanfaat bagi kemaslahatan rakyat.”

“Tapi… rakyat masih menghendaki aku, Denmas!’

“Kata siapa?”

“Kata orang-orang terdekatku.”

“Ah… Para kedibal akan bicara seperti itu. Jaman sudah berubah Kangmas.”

“Denmas, pengaruhi kerabatmu untuk mendukungku.”

“Maaf, Kangmas. Saya tidak bisa membantu. Panjenengan akan diketawakan banyak orang dengan menjabat sebagai patih. Ora ilok, tidak lumrah, Kangmas.”

~oOo~

Di tempat yang sama, beberapa bulan berikutnya.

“Benar katamu, Denmas. Kebanyakan rakyat tidak memilihku lagi. Kini, aku menghitung hari. Tidak ada sepekan lagi, aku harus menyerahkan tahtaku kepada orang lain.”

“Sebenarnya, Kangmas ingin memperpanjang menduduki tahta tersebut tidak untuk menyembunyikan suatu kebusukan, bukan?”

Diam. Sepi. Sunyi. RM Ario Trengginas dan Kanjeng Adipati Subandi sibuk dengan fikirannya masing-masing.