Melanjutkan penggalan dongeng sebelumnya.
Tanpa terasa, hampir dua purnama umur perpisahan Sekartaji dan Inu Kertapati. Sekartaji yang bermetamorfosis menjadi seekor keong bercangkang emas nasibnya ketula-tula (terlunta-lunta), karena ia hidup di sepanjang bantaran sungai. Jika ada predator yang mendekatinya, ia buru-buru berlari ke liang persembunyiannya. Waktunya ia habiskan untuk bertapa, dan kalau lapar mendera ia keluar sejenak mencari makanan.
Tak bosan ia memohon kepada Sang Pencipta agar kelak ada orang yang bisa membebaskannya dari kutukan. Hanya kesabaran yang ia punya, selebihnya ia pasrahkan pada takdir.
~0Oo~
Panji Asmarabangun yang kini menjadi anak angkat mBok Rondo Dadapan sesekali pergi agak jauh dari rumah untuk mencari sisik melik keberadaan orang yang sangat dicintai. O. Sekartaji betapa aku merinduimu. Di mana kamu sayangku? Tak ada satu pun kabar yang aku terima darimu. Panji senang merenung di tengah hutan. Jika sore menjelang ia pulang dengan membawa kayu bakar, buah-buahan atawa apa pun yang dapat dimakan bersama ibu angkatnya.
Pada suatu hari, seperti biasanya, ia pergi ke hutan. Dalam perjalanannya, entah kenapa perutnya sangat lapar. Ia melihat sekeliling, siapa tahu ada binatang buruan yang dapat ia tangkap dan dijadikan pengganjal perutnya. Tak ada. Ia terus berjalan, tetapi bukan melalui jalan setapak yang biasa ia lalui. Dari kejauhan ia melihat asap menggantang di angkasa. Ia berharap bertemu seseorang yang sedang memasak. Tapi apa mungkin, di tengah hutan seperti itu ada orang yang sedang memasak?
Ia dekati sumber asap. Dan benar saja, ia melihat sebuah tungku di atasnya ada sebuah kendil. Ia melongok ke arah kendil, aromanya membuat perutnya makin lapar. Di kendil itu ada nasi yang sudah masak, siap untuk dimakan. Tapi siapakah yang sedang memasak?
Panji mencari orang yang memasak nasi itu, sesekali mulutnya memanggil seseorang dengan sebutan kisanak. Panji yakin, ada seseorang yang tengah singgah di dalam hutan, mungkin sedang berburu? Dengan sabar Panji menunggu pemilik tungku kembali.
Namun, hingga matahari tepat di atas ubun-ubun, tak seorang pun datang ke tempat itu. Sementara, bara api di dalam tungku sudah hampir padam. Perut Panji minta diisi. Nasi di hadapannya telah membutakan mata hatinya. Ia segera mengambil selembar daun pisang, dan tanpa ragu ia ambil nasi dari kendil yang masih kebul-kebul, dengan lahap ia menyantapnya.
Saking laparnya, ia habiskan semua nasi di dalam kendil. Tanpa disadarinya, perutnya semakin membuncit, punggungnya membungkuk dan tumbuh daging yang menyerupai punuk unta. Panji terkejut dengan perubahan yang sangat drastis terhadap tubuhnya. Ia berjalan mencari genangan air, untuk bercermin.
Panji Asmarabangun yang sangat tampan itu, kini berubah seperti monster bungkuk. Rambutnya acak-acakan, matanya juling, hidungnya lengket ke pipi kanan, kedua bibirnya dower, membuat suaranya tak jelas. Tangan kanannya tidak bisa diluruskan dan kakinya pincang. Sebuah kutukan yang sempurna, bagi orang yang memakan hak orang lain.
~oOo~
Di dalam liangnya, Sekartaji yang berujud keong ia begitu merindukan kekasihnya. Kakang Panji, kenapa dirimu tidak mencariku? Aku sangat merindukan kehadiranmu di sisiku. Hanya gema suaraku yang terdengar rindu. Sekartaji mendendangkan sebuah lagu.