Pengantin pria itu mengucapkan ijab-kabul dengan lancar. Tak ada teriakan kata ‘sah’ yang berlebihan alih-alih tepuk tangan dari hadirin. Kemudian mas kawin berupa cincin 2 gram disematkan di jari manis pengantin wanita. Semua lega.
Meja kursi yang tadi digunakan untuk acara ijab-kabul segera disingkirkan oleh panitia. Sepasang pengantin yang mengenakan baju senada warna biru dibawa ke atas panggung pelaminan diiringi lagu Tombo Ati (versi campursari). Mereka didudukkan di kursi pelaminan yang terbuat dari bambu. Dekorasi yang dikerjakan oleh para pemuda Karang Taruna Desa bertema green. Ada dua pohon pisang dipasang di sisi kiri-kanan kursi pelaminan. Tanaman-tanaman yang dipajang juga yang biasa kita temui di halaman rumah seperti Sri Rejeki, Pucuk Merah, Lidah Mertua dan aneka perdu. Tak ada bunga mahal sama sekali yang terpajang di sana.
Aula Kantor Desa itu sepertinya sudah terbiasa digunakan untuk resepsi semacam itu. Memasuki ruang resepsi tak ada pagar bagus atau pagar ayu, tak ada buku tamu dan tak ada kotak sumbangan. Pemangku hajat memang tidak menerima sumbangan dalam bentuk apa pun.
Setelah pengantin sungkem kepada orang tua, para tamu diberi kesempatan untuk memberikan ucapan selamat kemudian dilanjutkan dengan menikmati hidangan. Live music campursari menambah semarak resepsi walimahan tersebut.
Ada hal yang menarik terjadi di panggung pelaminan yakni ketika sekelompok anak muda “menyerbu” sepasang pengantin dan menyerahkan sebuah piala bergilir sebagai simbol kalau mereka telah berhasil menikah. Kelak piala tersebut akan diserahkan kepada pengantin berikutnya.
Saya yang duduk di barisan kursi kedua dengan sangat jelas menyaksikan setiap adegan yang terjadi. Satu pelajaran penting: sederhana itu membahagiakan.
***
Pelajaran kesederhanaan saya dapat juga ketika sehari sebelumnya melakukan kunjungan silaturahmi pada sahabat lama. Ia tinggal di sebuah kota yang sejuk hawanya, maklum diapit oleh G. Sindoro dan G. Sumbing. Sebagai seorang petani, di waktu senggangnya diisi dengan banyak beribadah dan menambah ilmu agama.
Ketika kami izin “numpang” shalat dhuhur, segera saja ia menggelar empat sajadah dengan posisi satu sajadah di depan untuk imam. Setelah belasan tahun saya tak pernah jadi imam shalat bagi keluarga saya, kemarin berasa beda di perasaan saya. Apalagi saya diminta untuk memakai peci putih berparfum aroma pak haji.
***
Lewat akun medsos-nya sahabat yang lain membagikan momen-momen bahagia bersama pasangannya. Sehat raga dan sehat jiwa. Mereka memanfaatkan waktu luang yang mereka punya di tengah-tengah sibuk bekerja dan berkarya. Minggu kemarin ada di Kota A, minggu ini ada di Kota B. Menyegarkan raga, menyegarkan jiwa.
Saya ingin seperti mereka: kesederhanaan tidak hanya tercermin dalam gaya hidup namun juga dalam pola pikir mencari penghidupan. Tersebab bahagia itu sederhana saja, tidak rumit.