Sedah dan Prabarini

Sudah lebih dari enam bulan aku mengerjakan proyek yang diberikan Prabu Jayabaya kepadaku. Entah mengapa ketika memasuki pupuh yang menceritakan kisah asmara Narasoma-Pujawati tak satupun kata bisa aku torehkan dalam lembaran rontal.

Setelah melalui beberapa pertimbangan, aku memberanikan diri menghadap Prabu Jayabaya untuk mengutarakan isi fikiran yang mampat di otakku. Tak biasanya aku segrogi ini memasuki halaman istana Kadiri.

“Sudah sampai di mana kepenulisanmu, Mpu?” Prabu Jayabaya bertanya kepadaku tentang wiracarita Mahabharata yang sedang aku tulis. Ia memberi proyek kepadaku untuk menerjemahkan naskah Mahabharata yang berasal dari Negeri Hindustan ke dalam bahasa Kawi.

“Seharusnya sudah masuk ke bab Narasoma dan Pujawati, Gusti Prabu. Untuk itulah aku menghadap kepadamu untuk minta izin menulis bab tersebut di istana ini,” ucapku kepada Raja Kadiri. “Tentu saja dengan didampingi oleh permaisurimu, Prabarini.”

“Mengapa harus Prabarini?” tanya Jayabaya.

Pertanyaan pancingan, aku kira. Aku menangkap ada aroma cemburu di wajah Jayabaya. Ia sangat tahu kalau aku sangat mencintai Prabarini dan atas akal licik kakeknya terpaksa aku melepas Prabarini untuk dipersunting oleh Jayabaya.

Ya, ketika aku masih muda – kalau tidak salah umurku dua puluh tiga tahun, kami pernah saling mencinta. Prabarini sendiri waktu itu berumur tujuh belas tahun. Syahdan, Prabu Jayadarma yang saat itu bertahta di Panjalu gerah dengan ketenaranku sebagai pujangga. Ia ingin menjatuhkan martabatku dengan menculik Prabarini.

Ia berhasil menculik Prabarini dan menjodohkan dengan cucunya, yakni Jayabaya yang sekarang berada di hadapanku. Pada waktu tahta beralih kepada Prabu Gendrayana (anak Jayadarma), Panjalu menyerang Jenggala. Pada penyerangan pertama Jenggala menang, namun pada kali kedua Jenggala takluk. Setelah Gendrayana mangkat, tahta diwariskan kepada Jayabaya. Nama Jenggala makin pudar, dan nama Panjalu dikenal dengan nama Kerajaan Kadiri.

“Prabarini sumber inspirasi untuk menulis sosok Setyawati. Percayalah, aku tak akan berbicara dengannya apalagi menyentuhnya. Ia hadir di sisiku saja sudah cukup untuk menjadi umpan datangnya kalimat-kalimat indah yang kelak akan aku tuliskan dalam Kakawin Mahabharata,” aku memberikan argumen.

Maka, Raja Kediri itupun mengizinkan diriku untuk menyelesaikan kisah Narasoma dan Pujawati di salah satu puri yang terletak di samping istana utama dengan ditemani oleh Prabarini.

***

Proses kepenulisanku sangat produktif dengan adanya Prabarini di sampingku. Kami hanya diam membisu, meskipun sesekali kami bersitatap pandangan. Ah, Prabarini masih saja menyimpan pesona kecantikan sejak pertama kali kami bertemu tiga belas tahun lalu. Kecantikan yang sedang matang-matangnya.

Gambaran sosok Prabu Salya Raja Mandraka yang masa mudanya bernama Narasoma itu aku bikin mirip denganku, sedangkan Pujawati alias Setyawati menjadi gambaran utuh dari Prabarini. Cinta kami seperti tergambarkan oleh Narasoma dan Pujawati.

Atau aku yang ke-GR-an saja? Barangkali cinta Prabarini kepadaku telah pupus sama sekali?

Dalam waktu sepekan aku selesaikan bab yang menguras tenaga dan fikiran, dengan ditemani Prabarini dalam diamnya. Ketika aku ingin bangkit dari duduk, kepala berasa berputar.

Aku terjatuh di lantai. Dalam kesadaran level terendah, aku merasakan Prabarini mendekati tubuhku, mengukur denyut nadi di leherku.

Belakangan aku siuman dan menyadari keberadaanku sudah ada di penjara bawah tanah. Tuduhan kepadaku sangat serius: Sedah bermain cinta dengan permaisuri raja.