Sayang sepatu sayang

Saya termasuk tidak cerewet soal model dan merk sepatu. Asal pas di kaki dan pas di harga, bahkan seringnya menunggu harga didiskon sebesar mungkin. Toh, bagi saya, model sepatu pria ya begitu-begitu saja. Asal sabar menunggu diskon, jadilah ia milik saya. 

Sepatu yang saya pakai lumayan awet dalam arti bisa berumur dua atawa tiga tahunan. Dua pasang sepatu kantor warna cokelat dan hitam saya pakai bergantian selama lima hari dalam seminggu. Kadang memakainya tidak seharian, karena selepas shalat dzuhur saya masih betah memakai sendal jepit hingga saatnya pulang kantor. Hari sabtu dan minggu saya sangat jarang memakai sepatu, kecuali ada undangan pernikahan misalnya.

Kasihan sepatu saya, karena saya jarang merawatnya. Mereka tidak pernah berlulur semir sepatu. Kalau kotor saya mengelap sekedarnya saja, dengan selembar tisu. Paling pol mengelapnya dengan gombal bekas singlet. Lalu, tanpa saya sadari ujung sepatu yang hitam mulai mangap, karena lem mulai lepas.

Tugas melindungi kaki saya sepenuhnya ada di sepatu cokelat. Sepatu hitam jadi pengangguran. Ia teronggok di rak sepatu, mungkin menjadi tempat yang nyaman bagi persembunyian kecoa.

Hal yang sama akhirnya terjadi juga pada sepatu cokelat. Ada tanda-tanda kalau sol sepatu ingin memisahkan diri dari sepatunya. Saya lem sekedarnya, asal bisa dipakai sehari-dua, sebelum saya bawa ke tukang sol sepatu.

~oOo~

Pak tua tukang sol sepatu itu dengan tekun menjahit sepasang sepatu saya. Tidak banyak bicara. Setelah selesai, ia mengelap sepatu lalu mengambil semir hitam dan cokelat dan disapukan kepada tubuh dua pasang sepatu. Sikat sepatunya bergerak lincah dan pada sentuhan terakhir ia gosok-gosok dengan kain lap dan… cling!

Mereka menjadi seperti sepatu baru.