Saya [hampir tidak] takut ular lagi

Setelah sering kali menyaksikan tayangan Snake in the City di kanal National Geographic Wild, saya [hampir tidak] takut ular lagi.

O iya?

Dulu, melihat gambarnya saja membuat bulu kuduk saya merinding. Bahkan, kaki saya akan ngregeli ketika di jalan mobil saya melindas bangkai ular (terpaksa melindasnya sebab tak mungkin ada celah untuk menghindar). Atau jika di televisi ada film tentang ular, buru-buru saya memindahkan salurannya.

Waktu kecil dulu, saya ingat teman-teman sepermainan suka memegang dan mempermainkan ular lare angon (Xenochrophis vittatus). Jenis ular ini sangat jinak, sering untuk mainan anak-anak gembala, makanya disebut sebagai ula lare angon (ular anak gembala). Meskipun ndak galak, saya tetap tidak berani memegang seperti teman-teman saya.

Saya masih ingat betul pesan ibu guru klas tiga SD dulu, agar sering membersihkan kolong tempat tidur supaya tidak menjadi sarang ular. Nasihat itu tertanam hingga sekarang. Kalau sedang ngepel, tak lupa saya menengok dan membersihkan kolong dipan.

Nanti ketika saya duduk di bangku SMA, teman sebangku saya belajar menjadi pawang ular. Ia hobi sekali berburu ular. Ia sering meyakinkan saya, kalau ular itu hewan yang sangat baik. Sesekali saya diminta mengelus-elus ular yang dibawanya. Namun saya masih menolak jika disuruh menggendongnya. Pada suatu ketika ia menunjukkan kebolehannya menangkap ular kobra. Nahas betul nasib kawan saya itu, tangan kanannya (antara ibu jari dan telunjuknya) dipatuk kobra yang ditangkapnya. Akibatnya sangat fatal. Ia dirawat beberapa hari di rumah sakit.

Apakah ia sembuh? Tidak. Tangannya bengkak, lukanya ndak kering-kering dan berbau amis. Pada saat-saat tertentu saya membantu mengurut tangannya untuk mengeluarkan cairan amis dari lukanya. Tentu saja pada saat sakit tersebut, tangan kanannya diperban, sehingga terpaksa ia menulis dengan tangan kiri.

Untuk penyembuhan luka tersebut, orang tua teman saya itu sampai menjual sapi. Berita gembiranya, ia kapok bermain-main dengan ular.

***

Pengalaman buruk dengan ular saya alami ketika saya bekerja di tengah hutan di Kalimantan. Pada kegiatan membuka jalan hutan, seorang kolega yang berada di belakang saya memberi tahu supaya saya diam, jangan bergerak atau melanjutkan langkah kaki. Ia berkaa kalau di atas kepala saya ada ular (sebesar lengan saya), dengan kepala menjuntai hampir mengenai ubun-ubun saya. Tentu saja saya tak berani mengedipkan mata, ketika lidah ular dengan suara desisan di dekat jidat saya.

Tahu-tahu saya sudah berada di dalam tenda. Saya semaput dan trauma dengan ular.

Arkian, jika saya sedang berada di hutan dan telinga saya mendengar suara gemerisik [seperti ular melata di dekat saya] tubuh saya selalu gemetar! Di hutan Kalimantan pendengaran saya seakan menjadi demikian tajam.

Pengalaman buruk bertemu ular kembali saya alami. Namanya hidup di hutan, mestinya saya harus berakrab-akrab dengan ular. Justru saya menghindarinya. Dan cilakanya semakin sering bertemu dengannya. Waktu mandi di sungai, ia seperti meledek saya dengan melata di dekat tumpukan pakaian yang saya letakkan di pinggir sungai. Maka saya buru-buru berlari meskipun tanpa baju dan celana. Ular yang saya temui ndak ada yang mungil, semua ukuran raksasa [setidaknya di mata saya].

Kejadian paling tragis [kalau boleh disebut begitu], saat saya mengambil air wudhu di samping mushola camp di pagi buta. Ada ular dengan kepala tegak di bawah padasan, dekat sekali dengan kaki saya. Ular kobra, sepertinya. Ampun mbah, jangan patuk hamba. Ucap saya sembari pelan-pelan beranjak dari tempat itu.