Sarimin menganggur

Matari sudah naik setinggi galah. Terik di bulan Oktober pagi hari sudah membuat gerah Sarimin yang terbangun bersamaan dengan kokok ayam jantan tetangga rumah. Hari ini ia tidak bekerja, hanya leyeh-leyeh saja di teras rumahnya yang hanya terbuat dari papan bekas. Ia berjalan mendatangi Ujang yang masih tertidur dan membangunkannya.

“Jang, kamu sakit? Jam segini kok belum bangun juga!” Ujang melakukan peregangan semua persendiannya dan terdengar gemeretuk otot-ototnya yang beradu dengan tulang belulangnya. Tubuh Ujang kurus kering penuh borok, luka setengah kering berbau agak bacin.

“Eh, Mas Sarimin. Sampeyan nggak dinas hari ini? Kalau saya sih nanti dinas shift dua.”

Nggak Jang. Denger-denger majikan kita menghentikan sementara bisnisnya. Takut dikejar-kejar aparat Pak Jokowi!”

“Hah! Memang majikan kita bisnisnya haram ya Mas? Bisa-bisa beberapa hari ke depan kita nggak makan dong.”

Ujang yang berasal dari Garut itu pilon betul lagaknya. Sarimin duduk mendekati Ujang.

“Oalah… Jang… Jang… apa kamu nggak dengar kalau majikan kita dan teman-temannya sedang pada tiarap. Gara-garanya ya Pak Jokowi. Siapa yang berani berbisnis seperti itu di wilayah Jakarta bakalan ditangkap. Lihat tubuh kurusmu itu!”

Ujang mengamati tubuhnya. Betul-betul kurus dan penuh koreng. “Ada apa dengan tubuh saya, Mas?”

Sarimin yang berasal dari Wonogiri itu tersenyum. “Lihat tubuh kurusmu yang penuh luka itu. Kita ini korban eksploitasi para majikan. Saya setuju dua ribu persen dengan kebijakan Pak Jokowi!”

Ujang nggak mudeng dengan omongan Sarimin. Memang sih, level Ujang masih sangat junior dibandingkan dengan Sarimin yang sudah punya jam terbang sangat banyak.

“Ujang sayang… ketika majikan kita menyuruhmu bekerja di bawah terik matari apakah ada kebanggaan di dadamu?”

Hening. Mata Ujang plorak-plorok.

“Berapa lama kamu diajari oleh majikan kita membawa payung? Berapa lama kamu diajari menenteng tas dan pikulan? Berapa lama kamu diajari pakai kaca mata? Puncaknya, berapa lama kamu diajari naik motor?”

Ujang meneteskan air mata. Ia teringat saat disiksa oleh majikannya. Setiap kali ia membuat kesalahan, ia dicambuk. Bahkan juga dilukai dengan benda tajam. Tak dikasih makan pula. Hingga akhirnya ia bisa mengerjakan aneka atraksi yang diajarkan majikannya.

“Terus nasib kita selanjutnya bagaimana, Mas? Sampai sesiang ini saja saya belum makan.”

“Insya Allah, Pak Jokowi akan menempatkan kita di Taman Margasatwa Ragunan.”

Lagi-lagi jadi tontonan manusia.