Sandal jepit

“Maju, silakan di sini. Enggak apa-apa pakai sandal jepit,” pinta Jokowi.

Dikutip dari sini

Zaman SD saya dulu jamak anak-anak sekolah masih banyak yang nyeker, selain memang tak punya sepatu kebiasaan nyeker lebih praktis untuk bermain saat jam istirahat. Tetapi tidak sedikit dari teman-teman saya yang bersepatu. Kalau saya sih, ikutan nyeker. Nanti ketika saya klas 5 dan 6 mulai rutin bersepatu.

Seingat saya, jarang – bahkan tidak ada, memakai sandal jepit pada saat sekolah. Lebih baik nyeker. Cerita tentang sandal jepit, di rumah sandal jepit dipakai bersama. Saking awetnya kadang di bagian tumit sampai berlubang. Kalau tali sandal putus (biasanya bagian ujung tali yang dijepit jari) akan ‘diganjal’ menggunakan peniti.

Kejadian ini terjadi antara Mei – Juli 1983 (saya tidak begitu ingat), saya sudah lulus SMP dan sudah lolos seleksi masuk SMA)

Karena mengikuti domisili suami di Sumatera, bulik saya yang seorang guru SD mengajukan surat mutasi. Saya tidak tahu proses persisnya, tetapi pada suatu pagi ia datang ke rumah saya dengan membawa map berisi berkas mutasinya. Bulik menyuruh saya menyerahkan berkas tersebut ke Kantor P & K yang terletak di sebelah utara SMP saya dulu.

Saya segera berganti celana panjang, dengan tetap menggunakan kaos oblong dan bersandal jepit. Jika biasanya saya ke sekolah SMP jalan kaki, pergi ke Kantor P & K saya menggunakan sepeda.

Setelah parkir sepeda dan saya bertanya pada seseorang di sana, saya diarahkan ke sebuah ruangan. Saya masuk ruangan tersebut dan menemui bapak pejabat yang duduk di balik meja dengan tumpukan berkas sangat tinggi di bagian samping mejanya.

Tatapan matanya tajam ke arah saya. Dengan ketus ia bertanya tujuan saya menghadapnya. Keder juga saya saat itu. Map yang saya serahkan belum juga ia buka. Saya masih belum dipersilakan duduk.

Ia malah bertanya saya sekolah di mana, apa guru tidak mengajarkan untuk berpakaian rapi ketika masuk kantor pemerintah? Apa tidak punya baju dan sepatu, kok cuma pakai kaos dan sandal jepit? Kata-kata pedas tersebut tersimpan rapi di otak saya, dan masih teringat sampai sekarang.

Pengalaman berikutnya berurusan dengan kantor pemerintah yakni ketika saya mengurus perizinan penelitian skripsi di kantor provinsi dan kabupaten. Tentu saja saat itu saya berpenampilan rapi.

Kelak saat saya memasuki dunia kerja sebagian besar pekerjaan saya berhubungan dengan pemerintah, dari pusat sampai daerah. Dibandingkan zaman Orba dulu, kantor pemerintah sekarang jauh dari kesan seram. Penampilan cara berpakaian juga lebih santai meskipun tidak meninggalkan faktor kesopanan.