Sebulan ini ada dua peristiwa yang memaksa saya untuk melakukan perenungan. Pertama, seorang kenalan meninggal dunia. Dokter muda masih pengantin baru. Meninggal karena levernya tidak berfungsi, cuma 3 hari dirawat di RS. Dia ini anak bungsu, kesayangan keluarganya. Bapak ibu dan kakak-kakaknya yang membiayai sekolahnya hingga menjadi seorang dokter. Semua tenaga mereka tercurah untuk si bungsu ini. Kemudian yang kedua, tewasnya seorang teman akibat mobil yang dikendarainya tertabrak kereta api saat melewati lintasan rel tanpa penjaga. Mengapa teman saya itu melewati jalan tersebut? Kenapa pula dia tidak tewas sendirian, tetapi dengan teman **** di sebelahnya?
Tuhan memanggil mereka dalam usia masih muda. Cara Tuhan mengambil nyawa seseorang memang tidak dapat diduga-duga, karena pekerjaan itu memang hak prerogatif-Nya.
Saya bertafakur, dalam diam. Saya melangkah memasuki lorong hati untuk mengetuk pintu nurani, yang sudah sekian lama tidak saya masuki. Pintu terbuka, sebuah ruang yang sangat luas seakan tanpa batas, terang benderang, bersih, sepi, tanpa suara, di tengah ruangan terhampar sajadah berwarna kuning keemasan dan saya duduk di sana. Ruang hening.
Kepala saya tertunduk, mata terpejam tetapi saya masih bisa merasakan terangnya ruangan itu. Terdengar suara yang memecahkan keheningan ruangan itu dan saya sangat mengenali suara ini. Suara hati nurani sama persis dengan suara yang keluar dari kerongkongan saya.
“Aku tahu gelisahmu. Kamu tidak pernah tahu, kapan tiba saatnya diambil nyawamu. Jangan pernah sia-siakan kesempatan yang diberikan Tuhanmu kepadamu, sesempit apapun yang diberikan-Nya itu, pergunakan sebaik-baiknya”, katanya sambil meraih tangan saya supaya saya berdiri.
Saya mengikuti langkah-langkahnya. Betapa luasnya ruang hening ini, pikir saya.
“Dinding ruang ini sumber kebijaksanaan. Di sini tertulis ayat-ayat Tuhan yang ditorehkan ketika kamu lahir dahulu. Semua jawaban atas pertanyaanmu ada di dinding ini. Bahkan, secara dini dia akan memperingatkan kamu jika kamu mempunyai niat yang bertentangan dengan larangan-larangan Tuhan. Sayang sekali, kamu jarang memasuki ruangan ini.” Lidah saya kelu, tidak mampu berkata sepatah kata pun juga, tapi saya membenarkan kata-katanya.
“Hidup hanya sekali, gunakan untuk hal yang berarti!” katanya lagi.