Buruh kembali bergolak dengan membawa isu yang tak jauh dari: tolak upah murah, hapus sistem alih-daya, dan jaminan kesehatan. Mereka – para buruh itu – seakan tiada habis energinya untuk turun ke jalan dan berteriak lantang menyuarakan keinginannya. Ya nggak apa-apa melakukan itu, wong memang dijamin oleh undang-undang je.
Mas Suryat pun ikut turun ke jalan, bukan untuk unjuk rasa tetapi memantau situasi. Dengan mengendarai Nyai Skupi dengan kecepatan sedang ia menuju kerumunan massa. Pada sudut yang pas, ia melakukan jeprat-jepret dengan kamera kesayangannya. Lumayan, gambar-gambarnya nanti bisa ia tampilkan di majalah perusahaan yang ia kelola.
Pada saat nge-shoot ia melihat seseorang yang ia kenal di antara ratusan buruh yang berunjuk rasa. Buru-buru ia dekati orang tersebut dan diajaknya menepi di pinggir jalan, tempat ia memarkir Nyai Skupi-nya.
“Hei Dul, ikut unjuk rasa juga?” tanya Mas Suryat.
“Eh, pak Suryat. Anu, saya cuma … solidaritas saja pak. Nggak enak sama teman yang lain”, jawab Dul.
“Maukah kamu saya ajak keliling?” ajak Mas Suryat. Dul menggangguk dan membonceng Nyai Skupi.
Mereka melewati kerumuman massa. Pelantang suara yang ditaruh di atas mobil pick up terdengar suara nyaring sang orator. Isi orasinya diulang-ulang, seperti putaran kaset dari side A ke side B, atawa sebaliknya.
“Memang hidupnya belum layak ya, Dul? Bukankah baru kemarin upah buruh naik sampai lebih dari 40 persen?” pancing Mas Suryat.
“Upah segitu saban bulan selalu nombok, Pak,” jawab Dul.
“Oke, kelayakan hidup seseorang memang dapat diperdebatkan, karena ukurannya nggak jelas garisnya, tergantung sudut pandang orang yang merasakannya. Saya mau tanya, apa yang sudah kamu peroleh dari perusahaan tempatmu bekerja. Upahnya sesuai UMK? Dapat makan? Dapat transport? Jamsostek?” tanya Mas Suryat.
“Inggih, Pak! Semua saya dapatkan. Bahkan bulan lalu dikasih bonus. Alhamdulillah sih“, kata Dul.
“Nah, itu yang penting. Kamu mengucapkan alhamdulillah. Tahu kan arti kata alhamdulillah? Berarti kamu mensyukuri apa yang kamu dapat. Tapi, sekali lagi saya tanya, kenapa kamu ikut unjuk rasa? Solidaritas katamu”, ujar Mas Suryat.
Dul diam. Semilir angin membuat rambut Dul berantakan. Mas Suryat menghentikan Nyai Skupi.
“Dul, kamu lihat anak-anak muda berbaju putih bercelana hitam yang membawa map kumal itu?” telunjuk Mas Suryat mengarah pada tiga orang anak muda yang berjalan menyusuri trotoar kawasan industri.
“Kalau lihat penampilannya, mereka pemburu pekerjaan, Pak!” jawab Dul.
“Menurutmu gampang nggak cari pekerjaan di zaman sekarang ini?” tanya Mas Suryat.
“Susah banget, Pak. Teman saya saja sudah hampir empat bulan lamaran yang ia kirimkan nggak ada yang nyantol di pabrik”, jawab Dul.
“Nah, menurutmu lagi nih. Berapa banyak orang yang bernasib seperti temanmu itu? Segelintir, puluhan, ratusan atawa ribuan jumlahnya? Dari data yang pernah saya baca lulusan SMA pencari kerja jumlahnya ratusan ribu, berapa yang lulusan SD, SMP atawa sarjana? Mungkin nembus ke angka jutaan. Saya hanya ingin mengatakan, nasibmu jauh lebih baik dari pada mereka. Kamu bekerja dan mendapatkan penghasilan tetap saban bulan”, tutur Mas Suryat panjang lebar.
Dul hanya bisa menganggukkan kepalanya.
“Oke, kamu nggak perlu membandingkan dengan mereka yang nganggur, tapi bandingkan dengan pekerja di bidang sektor jasa. Pramuniaga toko misalnya. Mereka harus tampil cantik, segar dan ramah pada pelanggan. Berapa gaji mereka? Mungkin separoh gajinya habis untuk beli lipstik. Contoh lain, penjaga SPBU, cleaning servis, dan masih banyak lagi tentu saja gaji mereka tak sebesar gajimu. Pun dengan tunjangan-tunjangan yang diberikan di tempatnya bekerja, mungkin nggak ada apa-apanya dibandingkan apa yang kamu terima. Nekjika kamu beranggapan di tempatmu bekerja sekarang ini memberikan upah yang tidak layak, beranikah kamu pindah kerja ke tempat lain yang dapat memberikan gaji yang lebih tinggi? Menurutku, kamu nggak usah repot-repot unjuk rasa, apalagi mendemo perusahaan sendiri, tetapi diam-diam kamu melamar ke perusahaan yang gaji dan fasilitasnya jauh lebih oke!” kata Mas Suryat tanpa jeda.
“Saya sudah mencoba pindah ke perusahaan lain, Pak. Tapi gagal mulu di tingkat wawancara”, kata Dul cengar-cengir.
“Itu artinya, sumber rejekimu masih di perusahaan yang sekarang. Perusahaan itu seperti sawah dan ladangmu, cintai dan rawatlah baik-baik!” Mas Suryat memberikan wejangan mautnya.
Ia tahu, tak semua orang setuju dengan pernyataannya itu. Mungkin termasuk Dul.