Rejeki terakhir

Tubuh lelaki tua itu diselimuti sebatas dada. Nafasnya masih terlihat naik-turun, namun kesadarannya tak sepenuhnya normal. Orang-orang yang berkerumun di ruang sebelah memprediksi kalau umurnya tak lama lagi akan tamat.

Konon, nyawa belum mau meninggalkan raganya sebelum anak bungsunya hadir di hadapannya. Ya, mungkin anak bungsunya – yang tinggal di kota lain yang berjarak ratusan kilometer itu – masih dalam perjalanan setelah sebelumnya dihubungi untuk segera pulang. Duh, malaikat pencabut nyawa, tunggulah barang sejenak. Anakku masih di jalan.

~oOo~

Tas yang dibawanya ditaruh begitu saja, ketika kerumunan orang mulai memberinya jalan untuk memasuki kamar di mana bapaknya terbaring lemah. Ia melangkah dengan dada sesak membayangkan keadaan bapaknya, karena yang ia tahu dua hari sebelumnya ia masih sempat ngobrol dengannya di telepon, bapak dalam keadaan bugar. Tapi urusan maut siapa yang bisa mencegah kehadirannya?

Dekatlah kepadaku, Nak. Bimbinglah bapakmu ini dengan kalimat suci sebagai bekalku menghadap Gusti Allah. Si bungsu mendekati bapaknya, meraih tangan dan menciumnya. Ia usap keringat di kening bapaknya.

Ajaib, mata orang tua itu terbuka dan menyunggingkan senyum. Lalu terpejam lagi. Tanpa bersuara.

Si bungsu mendekatkan bibirnya ke telinga bapaknya membisikkan kalimat suci. Berulang-ulang. Semua yang hadir dapat melihat, bibir orang tua yang sakratul maut itu bergerak, entah apa yang ia ucapkan, tetapi semua menduga kalau ia mengikuti kata-kata  yang dibisikkan di telinganya.

Tak lama, nyawa keluar dari raga lelaki tua itu. Semua yang berasal dari-Nya akan kembali lagi kepada-Nya.  

Rejeki terakhir yang indah.