Lakon ini lanjutan dari Supraba, korupsi sepenuh hati.
Sejak ditetapkan sebagai tersangka penilep uang negara oleh Komisi Penggantungan Koruptor (KPK) Madukara, sosok Supraba hilang seperti ditelan bumi. Apalagi setelah ia bersaksi atas kasus lain yang juga melibatkan peranannya, ia menjadi bulan-bulanan media massa. Ke manakah dirimu, wahai perempuan cantik?
Nun, di salah satu apartemen mewah Supraba sedang menikmati hari-harinya bersama pacar barunya, Arjuna yang tak lain adalah Pak Bos yang sering ia sebut namanya untuk memuluskan prosesi penggarongan keuangan negara.
“Mas Jun, aku telah melakukan segalanya untukmu, kapan kamu mengawiniku?” rajuk Supraba.
“Tak lama lagi honey. Setelah ontran-ontran berita penilepan uang negara ini reda. Tenang, tak lama lagi kok,” bujuk Arjuna.
“Aku rela berakting menjadi perempuan paling bodoh dalam sidang kemarin itu. Semua sesuai dengan skenario yang kamu susun. Meskipun selanjutnya kamu tahu, kesaksianku jadi bahan tertawaan rakyat Madukara. Kelanjutannya, bagaimana Mas?” tanya Supraba.
“Begini… yang mulia…. ha..ha…!” sahut Arjuna.
“Ihh… malah ngledek deh!” Supraba mencubit mesra lengan Arjuna.
“Aku sudah membuat satu skenario besar lagi. Untuk menyenangkan lawan politik kita, kamu nanti aku pecat dari kepengurusan paguyuban, sebagai simbol bahwa paguyuban kita anti korupsi. Tapi, posisimu sebagai legislator tetap dipertahankan. Piye?” papar Arjuna.
“Apa skenario ini nggak mudah dibaca oleh musuh kita?” tanya Supraba.
Arjuna diam. Tapi tak lama. Tak menanggapi pertanyaan Supraba, Arjuna malah merengkuh pundak Supraba. Tanpa skenario. Tahu sama tahu. Butuh sama butuh. Kemudian…. asoi pakde!
~oOo~
Supraba, perempuan setengah bidadari itu belum kehilangan pesonanya. Entah lakon apa yang ia mainkan kini, hanya ia dan Pak Bos yang tahu. Pagi-pagi sekali, di rumahnya yang mewah telah banyak berkumpul para pewarta, baik dari majalah, koran atawa tipi. Mereka memang diundang oleh Supraba. Rencananya, ia akan memberikan keterangan pers. Tak ada yang tahu apa yang akan dikabarkan oleh perempuan yang pernah dinobatkan sebagai tercantik se-Kerajaan Madukara itu.
Dengan diiringi oleh para lelaki berbadan tegap, Supraba keluar dari pintu samping rumahnya dan berjalan anggun mendekati meja dan kursi yang telah disiapkan untuk jumpa pers. Hening. Semua menunggu dengan takzim apa yang akan dikatakan oleh Supraba.
“Selamat pagi teman-teman pewarta. Terima kasih telah sudi menghadiri undangan saya. Di sini, saya hanya ingin menginformasikan bahwa mulai besok saya akan mulai berkantor lagi di parlemen, yang lebih dari sebulan saya tinggalkan,” sapa Supraba.
“Mbak Praba, lalu bagaimana dengan kasus yang tengah membelit diri Mbak?” tanya seorang pewarta.
“Biarkan proses hukum berjalan dan kita harus menghormatinya karena negeri ini negeri hukum. Ini ujian bagi kehidupan saya,” jawab Supraba. Jawaban khas seorang koruptor sejati.
“Mbak Praba, sampeyan tahu nggak istilah rai gedhek?” tanya pewarta yang lain.
“Mbak… kok dianggap ujian sih? Bukannya itu sebuah karma?!” teriak pewarta dari harian sore.
“Apa itu mas? Saya tidak tahu istilah itu. Hubungannya apa dengan saya? Sudah ya pertanyaannya, saya mau pergi nih,” tanya Supraba sambil tersenyum.
Para lelaki tegap segera memberi jalan kepada Supraba masuk ke dalam mobilnya. Para pewarta tentu saja kecewa dengan acara jumpa pers tersebut. Cuma sak nyuk.
~oOo~
Esoknya, sang pewarta menuliskan judul di korannya: Rai gedhek milik Supraba! Sungguh ironis negeri ini. Saban ada pemilu legislator banyak kalangan perempuan yang memperjuangkan agar kuota perempuan di parlemen ditingkatkan jumlahnya. Namun apa yang terjadi kemudian? Perempuan yang masuk jadi legislator mayoritas adalah para sosialita yang hobinya bersolek dan berbelanja. Untuk memenuhi kebutuhan tersebut, mereka belajar memanipulasi data untuk menilep uang negara. Celakanya, meskipun telah ditetapkan sebagai tersangka, tanpa malu-malu masih menyebut dirinya sebagai wakil rakyat. Sebenarnya, ia mewakili rakyat yang mana? Atawa mewakili perempuan yang mana?
Note: Rai gedhek adalah istilah dalam bahasa Jawa yang berarti tak tahu malu. Rai=wajah, muka; gedhek=bilik bambu atawa kalau dalam istilah sehari-hari disebut sebagai muka tembok.