Di malam letih ini biarkan aku memberikan diriku pada tidur yang tanpa perlawanan, mengistirahatkan kepercayaanku padamu.
Biarkan aku memasrahkan semangatku yang mengendur dalam persiapan tak memadai untuk memujamu.
Kaulah itu yang menarik selubung malam di atas mataku yang lelah terhadap siang untuk memperbaruhi pandangannya dalam kegembiraan kesadaran yang lebih segar.
[Puisi ke 25 dalam buku Gitanjali kumpulan puisi Rabindranath Tagore]
Jaman saya sekolah dulu, dalam pelajaran bahasa Indonesia diperkenalkan penyair India yang bernama Rabindranath Tagore. Nama ini akan semakin terpatri di fikiran saya, ketika pada suatu hari saya diajak bapak saya keliling Kota Solo dan saat itu melewati sebuah jalan (sebelah timur Terminal Tirtonadi) yang diberi nama Jl. Rabindranath Tagore. Sampai sekarang saya tidak mengetahui alasan di balik pemberian nama tokoh itu oleh Pemkot Surakarta.
Rabindranath Tagore lahir di Kolkata India 7 Mei 1861. Tagore adalah satu keluarga seniman, musisi, dan pembaharu sosial yang sangat terkenal. Anak lelaki ini dididik dalam lingkungan sastra. Ia mulai menulis lirik-lirik Bengali pada usia muda.
Tagore muda sangat mengagumi penyair Inggris, Shelley dan Keats. Ia berusia 16 tahun ketika mengunjungi Inggris untuk pertama kali. Di sana ia tinggal selama 35 tahun sebelum akhirnya kembali dengan membawa terjemahan bahasa Inggris “Gitanjali” kumpulan puisinya. Gitanjali (Gitanjoli) terdiri atas dua kata ‘git’ (lagu) dan ‘anjoli’ (menawarkan), yang berarti “Sebuah Lagu Persembahan”. Karya ini terbit pertama kali pada tahun 1912.
Puisi-puisi Gitanjali mengungkapkan pandangan tentang cinta, kehidupan, serta alam metafisika. Berbicara tentang sebuah nilai tertinggi dari esensi cinta dan kehidupan anak manusia, cinta duniawi dan cinta surgawi.
Gitanjali adalah serangkaian prosa yang mencerminkan hubungan di antara manusia, ketuhanan dan dunia. Salah satu rangkaian prosanya saya kutipkan di atas. Spiritualitas buku ini dinyatakan dalam istilah universal, dan menemukan banyak resonansi. Karya ini juga mempunyai interaksi yang kuat tentang humanisme. Bahasa dalam buku ini sangat indah. Meliputi gambaran bunga, nyanyian burung, awan, matahari hingga ilalang. Gitanjali adalah salah satu karya terbaiknya, dan mengangkat reputasi Tagore ke pentas internasional. Ia memenangkan Penghargaan Nobel Sastra tahun 1913.
Tagore juga seorang pendidik. Pada tahun 1901 ia mendirikan sebuah ‘Universitas Dunia’ sekitar 100 mil dari Kolkata. Sekolah yang terkenal ini disebut Shantiniketan. Pengaruh Tagore dalam dunia pendidikan, banyak diadopsi oleh para pejuang kemanusiaan, termasuk salah satunya adalah Ki Hajar Dewantara, Bapak Pendidikan Indonesia. Shantiniketan menjadi sumber inspirasinya dalam mendirikan Taman Siswa di Yogyakarta. Konon, Shantiniketan juga dijadikan sebagai salah satu acuan dalam sistem pelaksanaan pendidikan di Pondok Gontor selain Universitas Al-Azhar di Kairo, Pondok Syanggit di Afrika Utara, dan Universitas Aligarh di India.
Sumber bacaan : buku Gitanjali (1912) dan buku Kumpulan Cerita Pendek (1918) karya Rabindranath Tagore