Pungli sehidup-semati

(1)

Pakde No sedang mengantri di KUA. Ia ingin mengurus pernikahan anak perempuannya bulan depan. Berkas yang ia bawa rasanya sudah lengkap, termasuk berkas data calon menantunya.

(2)

O, iya. Sebelum ke KUA, Pakde No mesti urus surat pengantar/keterangan dari RT/RW sampai ke Kantor Desa dan Kecamatan. Semua itu untuk melegalisasi bahwa anak perempuannya benar penduduk di sana.

(3)

Untuk tempat hajat pernikahan anaknya, Pakde No tak mampu menyewa gedung pertemuan. Maka, ia memilih buka hajat di rumah saja, dengan menutup jalan di depan rumahnya. Namun, untuk menutup jalan ia perlu izin kepada instansi yang berwenang.

(4)

Setahun kemudian, Pakde No dan istrinya mengunjungi anak dan menantunya di sebuah rumah sakit sebab cucu pertama telah lahir. Menantunya bercerita, untuk mendapatkan kamar inap memerlukan sedikit usaha. Pakde No mengingatkan menantunya untuk segera mengurus akta kelahiran cucu pertamanya itu. Katanya sih tidak memerlukan biaya, alias gratis.

(5)

Tiba saatnya, cucu Pakde No masuk sekolah. Pendidikan ditempuh dari TK hingga lulus SMA. Konon katanya sekolah sekarang gratis, tetapi yang Pakde No tahu kabar tersebut bohong belaka.

(6)

Pakde No wanti-wanti kepada cucunya, jangan naik motor sebelum punya SIM. Pada waktu usia cucunya masuk ke angka 17, menantu Pakde No mengurus KTP anaknya untuk mendapatkan SIM. Proses urus KTP diawali dari tingkat RT sampai Kecamatan dan terakhir di Kantor Kependudukan dan Catatan Sipil.

(7)

Waktu berjalan dengan sangat cepat. Cucu Pakde No sekarang sudah lulus tingkat bangku kuliah. Dengan berbekal ijazah, ia mulai berburu lowongan kerja. Beberapa orang datang ke Pakde No, katanya bisa mengusahakan cucunya menjadi PNS.

(8)

Pakde No sakit dan terpaksa dibawa ke RS. Tak mudah mendapatkan pelayanan di RS tersebut, meskipun ia telah memegang KIS, sebuah kartu nan sakti untuk mengobati segala penyakit. Diperlukan pelicin untuk memperlancar urusan pengobatan.

(9)

Karena penyakit Pakde No lumayan parah, para dokter angkat tangan. Ia dirujuk ke RS yang lebih lengkap peralatan medisnya. Ia mesti diangkut dengan mobil ambulance. Meskipun sopir ambulance sudah dibekali dengan surat jalan, mobil ambulance tidak dijalankan juga. Keluarga Pakde No tanggap akan bahasa tubuh sopir ambulance.

(10)

Sudah menjadi suratan takdir Pakde No. Belum sampai di RS yang dituju, Pakde No menghembuskan nafas terakhirnya. Keluarga Pakde No mesti mengurus surat keterangan kematian: dari RS, RT/RW, Desa/Kecamatan hingga mendapatkan kavling makam untuk mengubur jasadnya.

(11)

Dari alam kubur, Pakde No ingin sekali mengabari sanak familinya kalau di sana tak ada pungli sama sekali.