[1]
Ada sepasang suami-istri yang bekerja satu kantor. Si Tuan bekerja di Dept. A, sedangkan Si Nyonya bekerja di Dept. B. Pada suatu sore, Si Tuan barusan pulang dari dinas luar kota, duduk ngadem dan istirahat sejenak di ruangannya sambil ngecek email yang masuk di inbox-nya.
Si Tuan melongok ke pintu ruangnya tersebab ada seseorang yang mendatangi mejanya. Ia sudah ge-er berat – ketika yang ia lihat ternyata istrinya tercinta – hmm… istriku pasti akan mengungkapkan rasa kangennya karena seharian belum bertemu denganku.
Keliru.
Si Nyonya datang dengan mata menyala, tanpa senyum. Berkata judes sambil membawa sebuah berkas. Ia mengatakan kepada suaminya kalau berkas itu mestinya bukan ditujukan kepada Dept. B, melainkan urusan Dept. A. Terjadi debat. Si Tuan yang biasanya punya kesabaran level dewa tersulut emosinya akibat belum hilang rasa capeknya. Si Nyonya membawa berkas keluar dari ruang si Tuan dengan muka ditekuk.
Arkian, jam kantor usai sudah. Suami-istri itu masih berseteru. Mereka yang biasa pulang bersama, Si Nyonya memilih naik angkot. Si Tuan mencoba merayu pakai SMS, namun tiada berbalas.
Sampai di rumah, mereka saling diam. Malamnya, pisah ranjang. Tiada komunikasi hingga berhari-hari. Teman-teman sekantornya dapat membaca situasi yang terjadi antara Si Tuan dan Si Nyonya. Hubungan Dept. A dan Dept. B seperti disulut bara yang panas. Perkawinan suami-istri itu terancam. Kita doakan semoga tidak berakhir di pengadilan agama.
Itulah kenapa banyak perusahaan melarang karyawan mereka dengan status suami-istri, meskipun lain departemen. Salah satu mesti ngalah untuk menghindari konflik kepentingan.
[2]
Di perusahaan lain, ada pulitik kekerabatan juga. Suami-istri menguasai manajemen. Suami menjadi direktur, sementara istrinya menjabat manajer keuangan. Anak mereka diplot menjadi manajer produksi. Keponakannya mengurusi gudang. Adik suami diangkat di bagian ekspedisi, adik istri menjabat manajer personalia. Sebuah nepotisme yang sempurna.
Pulitik semacam ini nggak usah diprotes, wong memang perusahaan keluarga. Hak mereka sepenuhnya untuk mengatur perusahaan termasuk melibatkan kerabat-kerabat mereka.
[3]
Kanjeng Adipati punya seorang istri yang selalu mendampinginya. Karena saban hari mengikuti kegiatan Kanjeng Adipati, maka sang istri paham betul sistem kerja suaminya.
“Paduka Adipati, amplop ini tanda terima kasih kami atas perkenan Paduka yang telah merestui perniagaan kami di Kadipaten yang Paduka pimpin,” kata seorang saudagar kaya di ruang kerja Kanjeng Adipati.
“Wahai saudagar, tahukah kalian kalau aku tidak terima amplop tanda terima kasih? Sebagai nayaka praja yang dipilih oleh rakyat pantang bagiku menerima gratifikasi semacam ini. Ingat, aku pejabat publik. Sudah digaji oleh negara,” tukas Kanjeng Adipati.
Saudagar itu pun malu hati dan berniat menarik amplop yang tadi disodorkan ke arah Kanjeng Adipati. Namun, ia terkejut ketika Kanjeng Adipati melanjutkan tuturannya.
“Eit… amplopnya jangan diambil lagi. Kasihkan ke istriku ini. Ia bukan pejabat publik!” sergah Kanjeng Adipati cepat.
Nyonya Adipati yang sedari tadi duduk di sebelah suaminya tersenyum sangat manis.
Syahdan, lima tahun sudah Kanjeng Adipati berkuasa dan sudah saatnya lengser. Karena kekuasaan itu memabukkan, maka ia meminta istrinya untuk menggantikannya menjadi Adipati.
Pulitik kekerabatan macam apa ini?