Pujangga Angkatan 45

Pada awal tahun 1949, Rosihan Anwar dalam sebuah tulisannya di majalah Siasat memberikan nama Angkatan 45 bagi para pengarang yang muncul pada tahun sekitar penjajahan Jepang, Proklamasi dan setelahnya. Di antara para pengarang tersebut yaitu Chairil Anwar, Asrul Sani, Idrus, Usmar Ismail dan sebagainya.

Pujangga Angkatan 45 merupakan angkatan setelah Pujangga Baru. Pelopor Angkatan 45 yang paling menonjol adalah Chairil Anwar, karena pada karya-karyanya ia telah membebaskan diri dari kaidah-kaidah tradisional dalam bersajak. Selain itu – ini yang penting, roh yang terkandung dalam sajak-sajaknya merupakan suatu pemberontakan (termasuk terhadap kezaliman penjajahan).

Perhatikan sajak-sajak karyanya berikut ini:

DIPONEGORO

Di masa pembangunan ini
tuan hidup kembali
Dan bara kagum menjadi api

Di depan sekali tuan menanti
Tak gentar. Lawan banyaknya seratus kali
Pedang di kanan, keris di kiri
Berselempang semangat yang tak bisa mati

Maju

Ini barisan tak bergenderang-berpalu
Kepercayaan tanda menyerbu

Sekali berarti
Sudah itu mati

Maju

Bagimu Negeri
Menyediakan api

Punah di atas menghamba
Binasa di atas ditindas
Sesungguhnya jalan ajal baru tercapai
Jika hidup harus merasai

Maju
Serbu
Serang
Terjang

(Februari 1943)  – [dalam Budaya Th III No. 8 Agustus 1954]

PERSETUJUAN DENGAN BUNG KARNO

Ayo! Bung Karno kasi tangan mari kita bikin janji
Aku sudah cukup lama dengan bicaramu
di panggang di atas apimu, digarami lautmu
Dari mulai tanggal 17 Agustus 1945
Aku melangkah ke depan berada rapat di sisimu
Aku sekarang api aku sekarang laut

Bung Karno! Kau dan aku satu zat satu urat
Di zatmu di zatku kapal-kapal kita berlayar
Di uratmu di uratku kapal-kapal kita bertolak dan berlabuh

(1948) – [dalam Liberty Jilid 7 No. 297, tahun 1954]

KRAWANG-BEKASI

Kami yang kini terbaring antara Krawang-Bekasi
tidak bisa teriak “Merdeka” dan angkat senjata lagi.
Tapi siapakah yang tidak lagi mendengar deru kami,
terbayang kami maju dan mendegap hati ?

Kami bicara padamu dalam hening di malam sepi
Jika dada rasa hampa dan jam dinding yang berdetak
Kami mati muda. Yang tinggal tulang diliputi debu.
Kenang, kenanglah kami.

Kami sudah coba apa yang kami bisa
Tapi kerja belum selesai, belum bisa memperhitungkan arti 4-5 ribu nyawa

Kami cuma tulang-tulang berserakan
Tapi adalah kepunyaanmu
Kaulah lagi yang tentukan nilai tulang-tulang berserakan

Atau jiwa kami melayang untuk kemerdekaan kemenangan dan harapan
atau tidak untuk apa-apa,
Kami tidak tahu, kami tidak lagi bisa berkata
Kaulah sekarang yang berkata

Kami bicara padamu dalam hening di malam sepi
Jika ada rasa hampa dan jam dinding yang berdetak

Kenang, kenanglah kami
Teruskan, teruskan jiwa kami
Menjaga Bung Karno
menjaga Bung Hatta
menjaga Bung Sjahrir

Kami sekarang mayat
Berikan kami arti
Berjagalah terus di garis batas pernyataan dan impian

Kenang, kenanglah kami
yang tinggal tulang-tulang diliputi debu
Beribu kami terbaring antara Krawang-Bekasi

(1948) – [Brawidjaja Jilid 7 No. 16, tahun 1957]

Menggetarkan jiwa bukan? Pas sekali jika kita renungkan di bulan Agutus ini, bulan Kemerdekaan RI.