Potret terindah dari Bali

Di sepanjang perjalanan pulang ke Bias Lantang, dalam mobil yang membelah jalan malam Bypass Ida Bagus Mantra, aku bersandar dan tercenung.

Ke manakah hidupku sekarang?

Dan tak lama kemudian, aku melafalkan delapan huruf dalam hati. J-U-R-N-A-L-I-S.

Aku bersungguh-sungguh. Aku ingin sekali jadi jurnalis. Sejak kecil, aku selalu suka menulis. Aku biasa menulis tentang sahabatku di sekolah, di pantai, dan kisah-kisah mengesankan yang kualami. Aku sangat suka menulis. Bahkan, Jati suka memanfaatkan kepandaianku merangkai kata dengan memesan surat cinta padaku. Dengan bahasa cinta yang berbunga-bunga, rayuan semanis madu dan seindah kembang mekar, aku menggoreskan kata demi kata dalam surat cinta pesanan Jati. Aku bayangkan saja bahwa surat yang aku tulis itu untuk seseorang yang kurindukan. Seseorang, entah siapa, yang suatu hari dapat menjaga diriku, mengarahkan langkahku, menyambut hari depan yang gemilang. Jati, tentu saja, langsung berjingkrak-jingkrak membaca surat cinta itu, kemudian membungkusnya dengan amplop, yang entah minta dari siapa.

Selama ini aku tidak menyadari bakan meulis ini. Aku sama sekali tidak menganggap menulis sebagai suatu bakat atau kelebihan yang kumiliki. Aku baru sadar setelah membaca kisah Anne Frank. Betapa sebuah buku harian dapat membuka cakrawala dunia, bahwa diskriminasi atas ras itu sangat kejam.

Malah, seharusnya aku sadar bahwa kertas dan pena dapat menjadi senjata yang tidak kalah tajamnya dengan pedang. Lihat saja, apa yang dilakukan RA Kartini, dengan surat-suratnya, beliau menuliskan pemikirannya tentang wanita. Bahwa tidak seharusnya wanita hanya mengurusi rumah tangga, tapi harus diberi kesempatan untuk menunjukkan kemampuannya. Seharusnya aku tersadarkan sejak dulu.

Tapi, di atas semua impian untuk meraih cita-cita sebagai jurnalis, aku tidak akan pernah melepaskan Ibu dari hidupku. Ibu adalah tempatku bertumpu. Ibu adalah segalanya. Aku tidak akan pernah bisa melalui jalan panjang kemiskinan tanpa Ibu di sisiku. Ibu selalu menguatkanku. Ibu tidak henti menasihati agar aku tegar. Aku tidak boleh menyerah pada kemiskinan. Dalam hidup, kita harus menapak di jalan kebenaran, melangkah maju, sampai berhasil merengkuh cita-cita. Jangan pernah menyerah. Jangan pernah putus asa.

Benar, aku tidak akan pernah putus asa. Meski aku sering sedih melihat gubuk yang hampir roboh, atau melihat Ibu dalam raut kesakitan, atau menahan hinaan karena cap kami sebagai orang miskin, aku tidak akan pernah putus asa. Selalu ada keyakinan dalam diriku bahwa suatu saatnya nanti, hidup kami akan berubah. Kami tidak lagi tidur meringkuk berdesakan, atau bertangisan karena takut rumah kami diterbangkan angin. Air hujan tidak akan mengganggu dan membuat kasur kami basah sampai-sampai kami harus tidur dalam kedinginan yang berlipat-lipat.

Aku berjanji, suatu hari nanti, di saat aku menggenggam cita-citaku, aku akan mulai menabung. Hal pertama yang aku lakukan adalah membeli tanah, agar kami tidak hidup menumpang di tanah orang lagi. Aku juga akan membangunkan rumah yang layak untuk Ibu. Rumah dengan batu bata, bukan rumah gubuk berdinding gedheg. Aku memang tidak berfantasi membuatkan Ibu rumah bertingkat megah dengan segala kemewahan di dalamnya. Tidak. Hanya sebuah rumah yang layak huni dan uang yang cukup untuk membiayai hidup.

Di kejauhan, pada langit Timur, cahaya jingga perlahan membias. Bola raksasa menampakka diri. Matahari Timur. Bagiku, matahari adaah simbol dari harapan. Perlambang dari semangat yang tidak pernah terpadamkan. Aku percaya, selama matahari masih menerangi bumi, semangatku tidak akan pernah surut untuk menggapai masa depanku.

Aku berjanji. Demi Ibu.

~oOo~

Cerita di atas adalah penggalan ada kisah  tentang seorang anak pemulung  dari Bali yang menjuarai Lomba Foto Internasional, yang dapat ditemukan pada buku berjudul Potret Terindah dari Bali halaman 205 – 208. Menjadi seorang pemulung, bukan cita-cita gadis  ini. Di  balik  semangatnya  mengumpulkan sampah plastik,  ia  memiliki  sebuah  impian  tentang masa  depan yang ia harus  raih. Ia bernama Wayan  Sepi,  yang kini tinggal bersama  ibu dan seorang adiknya. Ayahnya  meninggal  karena sakit, saat ia masih berusia 3 tahun. Untuk menafkahi keluarganya, ia bekerja sebagai pemulung dan  berjualan makanan kecil dan minuman. Meskipun pemulung ia terbukti  juga terampil  dalam  memainkan  kamera  foto  sehingga  bisa  menghasilkan karya hebat, dengan kamera pinjaman. Dari tangannya lahir sebuah karya foto, yang berhasil menjuarai lomba foto internasional, yang diselenggarakan Museum Anne Frank Belanda. Ia berhasil menyisihkan 200 foto lainnya, dari berbagai penjuru dunia. Kisah selanjutnya, silakan baca di buku Potret Terindah dari Bali yang ditulis oleh Pande Komang Suryanita, diterbitkan oleh Penerbit Kaifa (Januari, 2011) setebal 211 halaman.