Judul: Noto: Tragedi, Cinta dan Kembalinya Sang Pangeran • Penulis: Prijono Hardjowirogo • Penerbit: Gramedia Pustaka Utama (Juli 2014) • Tebal: 325 halaman
Dalam sekejap Noto menjadi anak yatim piatu, pasalnya rumahnya ter(di)bakar orang tak dikenal. Noto dapat diselamatkan oleh bapaknya setelah dilempar dari dalam rumah yang terbakar tersebut, sementara bapak dan ibunya tak sempat menyelamatkan diri. Dari Boyolali, Noto yang baru lulus SD itu berjalan kaki ke Solo untuk mencari rumah kerabatnya. Setting waktu: Indonesia sedang ada ontran-ontran Gestok 1965.
Noto ngenger pada keluarga Den Sostro seorang ningrat dari Keraton Surakarta. Noto sendiri diopeni oleh Giman dan Waginah, pembantu di rumah Den Sostro. Jika semula ketika masuk SMP ia dipandang sebelah mata oleh kepala sekolah, belakangan Noto ternyata anak yang sangat cerdas terutama di bidang matematika. Kepandaiannya membuat terkesima guru matematikanya.
Encer betul otak Noto, maka tak sulit baginya mengikuti pelajaran di sekolah. Bahkan pada suatu kesempatan mendatangi Keraton Surakarta, ia menunjukkan kemahirannya menari Jawa halus mengikuti para puteri keraton yang sedang belajar menari. Ia akhirnya nanti menjadi murid sekolah sendratari di keraton.
Di sana ia berkenalan dengan Yanti, anaknya Pangeran Anggoro atau cucu dari Ngarso Dalem penguasa Keraton Surakarta. Noto yang dianggap bukan berdarah biru tidak disenangi oleh Pangeran Anggoro.
Noto tak bisa diam, harus punya kegiatan. Ia belajar ilmu bela diri kepada Giman, lalu sore harinya ke Kauman untuk belajar mengaji kepada seorang ustadz di perguruan Muhammadiyah.
Ketika ia sudah tingkat SMA, mulai berfikir untuk nyambut gawe. Maka, sepulang sekolah ia melamar kerja di Toko Permata Batik milik mBak Puji sebagai tukang antar pesanan batik ke pelanggan Permata Batik. Dari bekerja sebagai kurir, Noto punya tabungan cukup banyak. Umur Noto yang sudah akil balig seperti itu hatinya tertarik kepada Sari, istri Pak Achmad pelanggan Toko Permata Batik.
Sari yang masih muda dan cantik itu saban hari menjaga toko batik milik Pak Achmad yang sudah demikian sepuh. Karena sering bertemu, Noto dan Sari saling tertarik dan terjadilah affair di antara keduanya. Pak Achmad membiarkan saja, toh selama Sari menjadi istrinya Pak Achmad belum pernah ngeloni Sari. Atas saran Mbak Puji, Noto diminta berterus terang ke Pak Achmad kalau ia suka kepada Sari. Pak Achmad tak keberatan, yang penting orang di luar luar ndak ada yang tahu.
Usaha Noto semakin maju. Ia mendirikan perusahaan ekspedisi Golden River Batik Expediter. Tak hanya melayani Toko Permata Batik, hampir seluruh toko batik di Solo menggunakan jasanya. Noto merekrut teman sekolahnya untuk bekerja padanya. Ia mengendalikan perusahaannya.
Lulus SMA, Noto memilih masuk AKMIL di Magelang. Ia siswa cemerlang di angkatannya. Lulusan terbaik malah. Noto memilih masuk Kesatuan Perbekalan dan Angkutan Militer. Sungguh pilihan yang aneh bagi lulusan terbaik AKMIL, kenapa ia tidak memilih kesatuan yang elit semacam Kopassus, misalnya? Hal ini membuat heran Gubernur AKMIL. “Aku suka bergabung ke tempat aku bisa membuat satu perbedaan. Kesatuan Perbekalan dan Angkutan Militer begitu bobrok. Aku ingin memodernisasikan dan menciptakannya lebih berfungsi dan menjadi kesatuan yang berdiri sendiri.” (hal 196).
Noto yang mempunyai nama lengkap Notoadijoyo lulusan taruna terbaik itu diam-diam mempunyai harta kekayaan 5 M, hasil dari usaha Golden River yang dijalankan oleh mBak Puji dan teman-temannya. Bahkan dua teman yang bekerja padanya, dikuliahkan di Fak. Hukum dan Kedoteran atas biaya Golden River.
Sebagai prajurit nama Noto makin moncer setelah ia berhasil meringkus gembong GAM saat ia ditugaskan di Aceh. Pangkatnya melesat, meninggalkan jauh dari kawan-kawannya. Ia juga ditugaskan perang di Timor Timur.
Noto menelusuri asal-usulnya. Ia memperoleh sisik melik keluarganya. Ibunya ternyata seorang guru tari di Keraton Ngayogyakarta dinikahi oleh kakak tertua Kanjeng Sultan. Pada saat Noto berbicara dua mata dengan Kanjeng Sultan, diketahui bahwa bapak Noto sesungguhnya yang berhak menjadi sultan. Karena Noto sudah kembali maka tampuk tahta sultan akan diberikan kepada Noto.
Tentu saja tak serta merta Noto mengiyakan permintaan Kanjeng Sultan. Ia minta pendapat simbah kakung yang tak lain adalah Den Sostro-nya selama ini. mBah Kakung menyarankan agar Noto berterus terang kepada Kanjeng Sultan kalau ia sudah haji sebab tak ada Sultan Yogyakarta yang pernah naik haji, kecuali Sultan Agung Hanyokrokusumo – itu pun ketika naik haji Sultan Agung masih usia belasan. Gelar Sultan Ngayogyakarta adalah Sampeyan Dalem Ingkang Sinuhun Kanjeng Sultan Hamengkubuwana Senapati-ing-Ngalaga Abdurrahman Sayidin Panatagama Khalifatullah. Kata “Panatagama” sendiri berarti pengayom semua agama, maka tak ada identitas haji di depan nama sultan.
Ya, Noto memang pernah naik haji sebelum tugas perang di Aceh. Ia menggantikan jatah haji istri Jenderal Suprapto yang sedang sakit.
Apakah karena sudah haji, Noto akan tertolak menjadi Sultan Yogyakarta?