Pulang dari melempar jumrah Aqabah, terjadi kehebohan di tenda kami di Mina. Salah satu anggota kelompok kami belum kembali. Ditunggu sampai siang tidak nongol juga. Kalau yang belum kembali ini umurnya masih muda kami tidak terlalu kuatir, tapi ini seorang nenek yang usianya sekitar 65 tahun, ia biasa kami panggil si Emak. Ia melaksanakan ibadah haji tidak ada keluarga yang mendampinginya.
Sebelum subuh kami berangkat untuk melempar jumrah beranggota lengkap, tapi begitu selesai sampai di tenda kok hilang satu, ya si Emak itu. Selepas dzuhur kami mendapatkan kabar ada seorang nenek masuk rumah sakit. Oh iya, ada info yang beredar, terjadi insiden jamaah berdesakan saat melempar jumrah, salah satu anggota kelompok kami ada yang terpeleset sampai tangannya patah (sampai di tanah air kemarin tangannya masih di-gips). Mendengar kabar kalau ada seorang nenek masuk RS, Pak Haji – ketua rombongan KBIH kami, bergegas pergi ke rumah sakit. Harap-harap cemas kami menunggu kabar itu, tetapi setelah Pak Haji pulang kami harus kecewa karena bukan si Emak yang dirawat di RS tersebut.
Pak Haji menghimbau para jamaah agar setiap habis shalat kami membacakan al Fatihah, dengan harapan mempermudah jalan si Emak kembali berkumpul bersama kami. Malam berganti pagi, belum ada kabar juga. Akhirnya, diputuskan beberapa orang lelaki berpencar mencari si Emak, termasuk saya. Target : saat asar harus kembali ke tenda, ketemu atawa tidak ketemu si Emak.
Bekal informasi yang kami bawa dari tenda: si Emak terpisah saat akan masuk terowongan Mina (berarti ia belum sempat melempar jumrah), tidak membawa identitas yang lengkap – identitas jamaah haji Indonesia paling banyak: (1) tas paspor warna hijau/biru, (2) gelang logam – ini hanya menunjukkan nomor kloter, (3) kartu yang dikeluarkan oleh maktab, (4) secarik kertas bertuliskan arab gundul yang diberikan oleh pihak hotel (belakangan saya paham kalau itu semacam kartu nama hotel tempat jamaah menginap), (5) gelang dari karet, bertuliskan nomor maktab dan tulisan-tulisan arab dan (6) foto). Si Emak hanya memakai gelang logam dan pita merah putih yang dikalungkan di leher (ini identitas kelompok kami, untuk yang lelaki pita merah putih dipasangkan di peci), serta membawa uang sekitar 2.000 riyal (dengan kurs saat itu + 6,6 juta rupiah). Dan yang paling susah: si Emak hanya mampu berbahasa Sunda!
Dengan mengucap bismillah kami mulai berpencar. Mata saya tak henti-henti pelototi nenek-nenek yang kebetulan ada di dekat saya. Satu jam sudah saya mencari, tidak ada jejak sama sekali. Hampir setiap tenda Indonesia saya tanyai, siapa tahu melihat si Emak. Nihil saja hasilnya.
Ternyata teman-teman juga tidak menemukan si Emak. Jam 10 malam, sebagian besar dari kami telah terlelap tidur termasuk saya. Kami dikejutkan oleh sapaan salam seorang lelaki sambil menggandeng si Emak. Begitu menyadari si Emak pulang, kami mengucapkan hamdallah bersama-sama. Para jamaah wanita memeluk dan menciumi si Emak, saling menangis karena bahagia.
Setelah puas melampiaskan “rindu” si Emak kami minta untuk bercerita. Cerita si Emak ini membuat kami tertawa sepanjang malam (sampai sekarang kami masih susah untuk mempercayai kisah si Emak, benar atawa tidak yang diceritakan si Emak) karena kami jadikan guyonan. Kami cemas, ternyata si Emak “enak-enakan” makan dan tidur di restoran, sementara kami yang berada di tenda Mina hanya makan berlauk kerupuk saja, itu pun harus antri panjang he..he..
Inilah cerita versi si Emak:
- Ia terpisah dari rombongan kami, kemudian mengikuti rombongan lain untuk melempar jumrah aqabah.
- Karena kebingungan tidak tahu arah jalan, ia ditolong orang. Dibelikan pakaian ganti dan makanan (di Al-Baik – restoran fried chicken). Si Emak tidak mau mengikuti orang tersebut (ia menyebut orang yang menolongnya bukan berwajah Indonesia). Si Emak memilih menunggu di al-Baik.
- Malam itu si Emak tidur menginap di al-Baik. Ketika kami sibuk mencarinya, termasuk beberapa teman melewati al-Baik, si Emak katanya melihat teman kami, tapi tak kuasa untuk memanggil teman kami itu.
- Kemudian si Emak keluar restoran, mendatangi polisi yang sedang patroli pakai motor. Oleh polisi si emak diantar sampai pintu gerbang lokasi tenda kami. Si Emak bilang polisinya tidak mau dikasih uang (teman-teman pada nyeletuk: emang ojek apa Mak?).
- Bolak-balik si Emak melewati tenda kami katanya, tapi tidak hapal mana tenda kami, akhirnya sampai sore tidak ketemu dan nyasar di tenda No. 38.
- Malam itu, si Emak diantar ke tenda kami oleh jamaah penghuni tenda No. 38 tersebut.
Dari awal kedatangan ke Mekkah si Emak memang sudah “bermasalah” sih. Makanya kami semua jadi kenal dengan si Emak. Saat itu tas koper dan tas tenteng si Emak raib entah ke mana. Hilang sampai 2 hari, sehingga si Emak pinjam baju pada yang lain. Tak tahunya, koper si Emak ada di lantai 7 hotel kami, yang saat itu belum dihuni jamaah.
Setelah kejadian hilangnya si Emak, kami selalu mendampingi si Emak. Bersama Pak Haji, saya ikut mengawasi si Emak dan para sepuh yang lain ketika mereka melaksanakan tawaf ifadhah, mulai keluar maktab hingga naik angkot (pulang-pergi ke Masjidil Haram si Emak duduk di sebelah saya, makanya saya cukup lengkap mendengar kisah petualangan si Emak tempo hari langsung dari mulutnya).
Aya-aya wae mak…mak…