Saya masih sangat belia ketika pertama kali melihat Pak Harto. Ketika itu tahun 1970, beliau mengunjungi Karanganyar didampingi Ibu Tien Soeharto. Hari itu Pak Harto mengenakan seragam pramuka, sama dengan kami yang berbaris rapi menunggu beliau sejak pagi di alun-alun kota Karanganyar.
Masih segar dalam ingatan saya, walaupun disiram rinai hujan yang sering kali singgah di pagi hari di daerah ini, kami tetap penuh semangat mengikuti acara. Ada bara yang menyala di hati kami, kebanggaan melaksanakan upacara di depan presiden. Bara itu menyulut keinginan saya. Di usia yang masih sangat muda itu saya sungguh ingin bersalaman dengan Pak Harto dan Ibu Tien.
Yang saya dan teman-teman dapat lakukan di depan Pak Harto dan Ibu Tien pada hari itu adalah menari. Dan karena menarinya di awal acara, tentu saja kami tidak disalami seperti yang sering saya lihat di televisi, ketika Presiden dan Ibu Negara menyalami para penari di akhir suatu acara.
Keinginan untuk menjabat tangan Pak Harto jelas tidak kesampaian. “Masih jauh…,” kata saya kepada diri sendiri. Saya masih seorang pramuka cilik, belum punya prestasi. Tapi saya berjanji di dalam hati, suatu hari nanti saya akan menjabat tangan beliau.
Baju koko putih berkopiah
Berpuluh tahun berlalu dan hari yang saya nantikan itu akhirnya tiba, hanya beberapa bulan setelah saya dilantik menjadi Bupati Karanganyar pada tahun 2004. Dengan jabatan itu berarti saya juga harus memerhatikan Astana Giribangun. Komplek pemakaman keluarga Ibu Tien Soeharto itu terletak di ketinggian Bukit Bangun yang termasuk wilayah Karanganyar. Astana ini berjarak tempuh 1,5 jam dari Bandara Adisumarmo, Solo. Lepas dari kota Karanganyar, kita dapat mencapainya dengan melewati jalan raya yang membelah persawahan dengan panorama yang permai di kiri kanan jalan.
Saya masih ingat benar, di suatu pagi yang cerah Pak Harto tiba mengenakan baju koko putih dan berkopiah. Beliau tersenyum hangat sekali ketika kami bersalaman. Alangkah bahagia hati saya, hari itu tuntas lagi cita-cita masa kecil saya. Pak Harto tiba diiringi Mbak Tutut dan putra-putri yang lain. Usai berdoa, Pak Harto dan putra-putrinya menaburkan bunga di atas makam Ibu Tien.
Saya melihat tangan Pak Harto sejenak membelai marmer makam Ibu Tien dengan penuh sayang dan perhatian. Hanya melati dan bunga mawar kesayangan Ibu Tien yang ditaburkan Pak Harto dan putra-putri beliau. Mawar khas Tawangmangu, merah muda dan sangat harum.
Supirmu sudah diberi makan?
Setelah itu biasanya Pak Harto dan keluarga beristirahat di salah satu pringgitan di samping Astana. Di sana selalu tersedia salah satu menu kesayangan Eyang Putri Soemoharyomo, ibunda Ibu Tien Soeharto. Pecel, makanan rakyat yang sangat popular di daerah kami, menjadi istimewa karena ditambah rebusan bunga dari pohon turi yang banyak tumbuh di sekitar Astana. Hidangan itu dilengkapi dengan tempe tahu yang lezat dan teh kental hangat yang sangat nikmaty di tengah segarnya udara perbukitan.
“Siapa yang menemani kamu datang ke sini? Apakah rombongan dan supirmu sudah diberi makan?” Pak Harto bertanya kepada saya yang sedang menyendok pecel.
Pertanyaan Pak Harto di saat makan bersama itu mengejutkan saya. Alangkah dalam maknanya, seakan Pak Harto mengingatkan saya, agar sebagai pemimpin jangan pernah melalaikan orang-orang kecil. Hingga kini pesan itu saya terapkan sebagai salah satu dasar kepemimpinan saya di Kabupaten Karanganyar.
Saya tahu sekarang, di sepanjang hidup beliau ternyata Pak Harto selalu focus kepada orang kecil. Saya pikir itu salah satu hal yang membuat kepemimpinan Pak Harto di negara ini bertahan lama, sampai tiga puluh satu tahun.
~oOo~
Itulah sebagian tulisan tentang Pak Harto oleh Rina Iriani Sri Ratnaningsih yang kini menjabat sebagai Bupati Karanganyar periode 2003 – 2008 dan 2008 – 2013 berjudul Persembahan Untuk Pak Harto, yang dapat ditemukan di halaman 336 – 341 dalam buku Pak Harto The Untold Stories. Buku ini diterbitkan oleh Gramedia Pustaka Utama (2011) dengan Editor Arissetyanto Nugroho dan Donna Sita Indria setebal 602 halaman.