Penyeberangan Bakauheni – Merak

Pintu masuk Pelabuhan Penyeberangan Bakauheni

Akhirnya kesampaian juga keinginan saya menginjak bumi Lampung, sebuah kota provinsi di Pulau Sumatera yang paling dekat dengan Jakarta. Pernah beberapa kali berniat main ke Lampung melalui jalan darat dan merasakan naik kapal menyeberang laut, namun tak jua terlaksana.

Aktifitas penyeberangan Merak – Bakauheni atawa sebaliknya sering saya lihat beritanya di televisi tidak hanya pada saat laporan mudik/arus balik lebaran tetapi belakangan ini pun diberitakan karena panjangnya antrian kendaraan besar yang mau masuk ke kapal untuk diangkut dan diseberangkan. Melihat tayangan antrian yang berkilo-kilo meter tersebut salah satu yang menyebabkan keder-hati untuk main ke Lampung. Mas, yang antri panjang itu cuma kendaraan besar kok, kendaraan kecil mah ada jalurnya sendiri. Demikian kata salah satu teman, satu ketika.

Dan memang benar kata teman saya, antrian kendaraan kecil tak begitu lama. Hanya kudu sabar ketika menunggu kapal bersandar di dermaga kemudian satu-satu kendaraan masuk kapal. Seperti saya ceritakan di tulisan sebelumnya, pulang ke arah Jakarta melalui jalur darat karena insiden tiket.

Landscape sekitar Pelabuhan Penyeberangan Bakauheni

Pas matahari tergelincir ke arah sore, kami sampai di Pelabuhan Bakauheni. Untuk masuk pelabuhan melewati gardu pembayaran. Sambil menunggu kapal bersandar sempurna, saya ngopi-ngopi dulu. Kata Mas Wahyu – yang mengemudikan kendaraan kami, harga kopi di darat jauh lebih murah dibandingkan harga di kapal.

Begitu mobil masuk kapal, para penumpangnya mesti keluar dari mobil menuju ke tempat yang telah disediakan untuk istirahat. Saya sih memilih jalan-jalan di geladak sambil menikmati suasana sore Pelabuhan Bakauheni. Geladak semakin ramai oleh penumpang, apalagi datang rombongan anak sekolah sebanyak satu bis. Mereka berfoto-fotoan dengan seorang bule, ada juga yang bergaya aneka rupa di depan kamera hapenya. Masing-masing penumpang punya kesibukan sendiri-sendiri.

Kami dikagetkan oleh kehadiran seorang anak tak berbaju hanya bercelana pendek saja. Kepada setiap orang yang ditemui, tangannya menengadah minta uang.  Ia meminta uang tetapi bukan pengemis, tetapi sebagai ongkos bayar atraksi yang akan dilakukannya yakni loncat dari ketinggian kapal ke dalam laut. Setelah mendapatkan uang dalam jumlah yang cukup, ia mencari tempat yang tinggi dan… hup…. terjun ke laut.

Bukan mau bunuh diri

Kapal pun berangkat ke arah Pelabuhan Penyeberangan Merak. Wah… susah cari ujung buritan kapal. Mau bergaya a la film Titanic. Bosan berada di geladak, kami masuk ke ruang tunggu ber-AC sambil menikmati teh panas. Maghrib tiba, kapal berhenti di tengah laut. Konon menunggu antrian bersandar di dermaga.

Saya keluar dari ruang tunggu menikmati indahnya langit merah. Saya disapa oleh seorang anak muda yang bertopi Tino Sidin. Dari obrolan yang mengalir, ia bersama keluarga besarnya dalam perjalanan Palembang – Cirebon. Ia menjemput ibu dan saudara-saudaranya, karena sebentar lagi istrinya melahirkan bayi pertamanya, yang tinggal di Cirebon. Minta doanya ya Om? Saya mengiyakan, mantap.

Anak muda ini luar biasa pengalaman hidupnya. Lebih memilih jadi pedagang daripada bekerja di sebuah perusahaan pengeboran minyak yang bergaji besar. Profesi pedagang bagus tuh mas, saya sebetulnya pengin segera pensiun dan mau berdagang juga. Ia menatap saya. Kenapa begitu, Om? Saya memandang laut lepas. Sebab, Muhammad bin Abdullah bin Abdul Muthalib juga seorang pedagang.

Pengumuman kalau kapal sudah bersandar menghentikan obrolan kami.