Penetapan UMK 2013

Di sebuah ruang direksi perusahaan kelas menengah (atawa padat karya).

Seorang direktur sedang pusing tujuh keliling. Demo buruh yang menuntut kenaikan upah yang nembus ke angka 2 juta per bulan, membuat kepalanya cenat-cenut. Ia sedang mempertimbangkan, tetap bertahan dengan keadaan merugi, pengurangan karyawan (agar pabriknya tetap jalan) atawa kemungkinan terburuk menutup perusahaannya. Pertimbangannya sangat sederhana yakni hitung-hitungan tambahan biaya operasional yang harus ia bayarkan di tahun depan.

Perusahaan yang ia pimpin punya 510 karyawan yang harus disesuaikan upahnya berdasarkan ketetapan UMK (Upah Minimum Kabupaten) 2013. Sementara, masih ada 300 karyawan yang harus diperhitungkan upah sundulannya. Jika UMK 2012 sebesar Rp 1.540.000 dan UMK 2013 sebesar Rp 2.000.000, maka selisih upah sebesar Rp 460.000. Kertas putih di hadapannya penuh dengan coretan perhitungan budget tambahan di tahun 2013:

  • Selisih upah untuk 510 karyawan = 510 X Rp 460.000 X 12 = Rp 2.815.200.000
  • Iuran Jamsostek = 510 X Rp 460.000 X 7,24% X 12 = Rp 203.820.000
  • THR 2013 = 510 X Rp 460.000 = Rp 234.600.000
  • Upah lembur (ia menghitung dengan angka minimal 10%) = 510 X Rp 460.000 X 10% X 12 = Rp 281.520.000

Total jenderal budget tambahan untuk biaya karyawan yang harus dikeluarkan tahun 2013 = Rp 3.535.140.000. Hitungan ini belum termasuk upah sundulan bagi 300 karyawannya, dari level terendah hingga manager. Barangkali jumlahnya akan sama dengan budget tambahan yang 3.5M itu. O, mungkinkah akan sampai ke perhitungan tekor? Tidak mudah menjadi pengusaha di negeri yang aturannya gampang diubah melalui demonstrasi.

Untuk menutup biaya karyawan tambahan sebesar Rp 3.535.140.000 itu, apakah yang akan ia lakukan: mengurangi margin keuntungan, menaikkan harga barang (ini tak mudah, karena harus memperhatikan kehendak pasar), efisiensi pemakaian energi (listrik – tapi harga listrik tahun depan akan naik, air, gas), efisiensi biaya komunikasi (memasang timer, membatasi menelpon dengan cara menggantinya dengan komunikasi via email), efisiensi biaya bahan baku (ah, ini sangat beresiko terhadap kualitas barang jadi yang dihasilkan nanti) atawa meningkatkan produktivitas pekerja (cara ini memang bisa dilakukan? Bukankah para pekerja kita termasuk tipe pekerja manja?)

Di sebuah pusat perbelanjaan sebuah mal di kota Kabupaten, pada akhir bulan.

Seorang lelaki (ia pekerja pabrik) didampingi istri dan seorang anak yang masih balita. Sebelum masuk ke lobi mal, ia mampir masuk mesin ATM untuk mengambil gaji bulan itu. Ia tersenyum, ketika di layar mesin ATM menunjukkan gaji sudah ditransfer oleh perusahaannya. Ia kuras seluruh gaji yang sebesar Rp 1.700.000 itu (eh, disisain Rp 50.000 ding, untuk memenuhi saldo minimal yang tertinggal di rekening).

Dengan bangga ia memasuki arena mal. Istri merajuk minta dibelikan baju baru. Rp 120.000 ia bayarkan ke toko. Kemudian mereka memasuki supermarket dengan mendorong troli kosong, untuk memborong aneka barang kebutuhan sehari-hari. Asal mata suka pada barang tersebut, mereka mengambilnya. Sampai di kasir ia terkejut, karena jumlah belanjaannya menembus angka Rp 400.000. Ah, karena gengsi ia bayar semuanya, malu nekjika mengembalikan barang yang semestinya tidak ia butuhkan.

Keluar supermarket, anaknya merengek minta dibelikan ayam goreng cepat saji. Mereka – masih mendorong troli penuh barang belanjaan, menuju konter ayam goreng cepat saji. Troli diparkir di luar konter. Si lelaki menuju kasir untuk memesan makanan, sementara istri dan anaknya menuju meja yang kosong. Pembayaran sebesar Rp 90.000, sebagai ongkos makan malam mereka.

Hari itu, sang pekerja pabrik telah membelanjakan gajinya sebesar Rp 120.000 + Rp 400.000 + Rp 90.000 = Rp 610.000. Sampai di rumah, induk semang rumah petak sudah menunggunya. Ia ingin menagih uang sewa rumah petak bulan itu, sebesar Rp 500.000. Uang di saku masih ada Rp 540.000 yang akan masih ia gunakan untuk membayar cicilan motor Rp 300.000, beli pulsa henpon miliknya dan istrinya juga, paling tidak Rp 200.000, buat beli rokok, buat belanja dapur, dan sebagainya. Pokoknya, saban bulan ia tekor berkisar Rp 200.000 – Rp 400.000!

Hutangnya ada di mana-mana. Bagaimana ia akan produktif jika fikirannya disibukkan oleh hutang yang di mana-mana itu? Maka tak heran, ia akan sangat mudah untuk terprovokasi melakukan demo menuntut kenaikan upah di perusahannya.

Di sebuah ruangan mewah seorang politisi, yang baru beberapa bulan dilantik menjadi Bupati.

Ia sedang mereka-reka sebuah perhitungan bagaimana mengembalikan modal ketika ia berkampanye dulu. Dalam hitungan kasarnya, ia telah menghabiskan dana sekitar 5 M. Jika ia digaji sebulan Rp 50.000.000, ia perlu bekerja setidaknya 100 bulan. O, itu tak mungkin, karena masa jabatannya hanya 60 bulan saja. Tekor dong? Lah iya, tekor 2 M!

Untuk membayar ketekorannya itu, ia akan memperjualbelikan perizinan kepada para pengusaha yang ingin berinvestasi di kotanya. Ia termasuk Bupati yang bermahzab bahwa kemajuan suatu kota diukur oleh banyaknya mal yang tumbuh. Ia akan mudah meloloskan izin pendirian mal dan pusat perbelanjaan. Tanpa sadar, ia telah mendorong rakyat yang dipimpinnya untuk berlaku konsumtif.

Sebab-akibat dari sebuah demo buruh menuntut kenaikan upah adalah TEKOR.