Penangsang, Tembang Rindu Dendam

Saya dan mas Kusnadi janji bertemu di suatu tempat, di suatu siang di Kota Solo. Hari itu mas Kusnadi akan memberikan kejutan untuk saya. Kami ngobrol ngalor-ngidul, maklum hampir dua tahun tidak bertemu dengannya. Akhirnya, ia pun memberikan kejutan itu.

“Penangsang! Ada novel bagus tentang Penangsang nih,” katanya sambil memberikan buku Penangsang, Tembang Rindu Dendam. “Novel ini akan menjawab rasa penasaranmu tentang sosok Penangsang.”

Saya timang buku tersebut, lalu mulai saya baca cover depan dan belakang. Novel ini karangan NasSirun PurwOkartun diterbitkan oleh Tiga Kelana (Agustus 2010) setebal 704. Melihat lay out dalamnya, mengingatkan saya pada novel serial GM, CM, maupun PP-nya Langit Kresna Hariadi.

Wis rampung mbok baca mas?” tanya saya.

Wis, apik tenan. Novel ini memberikan informasi lain tentang sosok Haryo Penangsang. Selama ini kita tahunya Penangsang digambarkan sebagai sosok yang kasar, garang, beringas dan mudah marah, toh?” kata mas Kusnadi.

Ya, mas Kusnadi benar. Dari dongeng yang saya dengar dari ibu saya atau saya baca dari buku atau yang ditampilkan dalam pentas-pentas Ketoprak, Haryo Penangsang – Adipati Jipang digambarkan sebagai sosok yang gila kekuasaan, sangat brangasan, hatinya selalu panas dan jiwanya mudah marah, seperti yang digambarkan dalam Babad Tanah Jawi atawa Serat Kanda pada episode kematian Haryo Penangsang:

Pada saat pasukan Pajang datang menyerang Jipang, Haryo Penangsang sedang bersiap berbuka setelah berpuasa 40 hari atas anjuran Sunan Kudus. Hadiwijaya – Adipati Pajang, sebelumnya pernah mengirim surat tantangan yang dibawa oleh seorang pekatik (pemelihara kuda) lalu telinga pekatik itu dipotong oleh Pemanahan dan Penjawi. Meskipun sudah disabarkan adiknya, Haryo Mataram, Penangsang tetap berangkat ke medan perang menaiki kuda jantannya yang bernama Gagak Rimang. Syahdan, dalam suatu pertempuran di tepian sungai, Sutawijaya yang kelak akan menjadi Panembahan Senopati – Raja Mataram Pertama, menusuk perut Haryo Penangsang menggunakan tombak Kyai Plered. Perut Haryo Penangsang robek dan ususnya terburai. Namun ia masih bertahan. Ususnya itu disampirkan pada pangkal keris pusakanya yang bernama Kyai Setan Kober. Maka, ketika Haryo Penangsang berhasil mencengkeram bahu Sutawijaya dan akan menusukkan kerisnya, ia mencabut keris pusakanya itu akibatnya usus yang tersampir di pangkal keris tersebut ikut terpotong, sehingga Haryo Penangsang pun menemui ajalnya. Dalam pertempuran itu Ki Matahun, patih Jipang ikut tewas, sedangkan Haryo Mataram meloloskan diri. Sejak awal, Haryo Mataram memang tidak pernah sependapat dengan kakaknya yang mudah marah itu.

“Kira-kira cerita semacam itulah yang sering saya dengar mas,” tukas saya.

“Lah iya. Masak sih sosok yang dijagokan ulama sekaliber Sunan Kudus itu begitu beringas dan biadab ya? Memang, banyak cerita sejarah yang selalu berpihak pada yang menang. Babad Tanah Jawi, yang diyakini sebagai kitab sejarah di Tanah Jawa ini penuh bergelimangan mitos dan dongeng. Kata Mas NasSirun PurwOkartun, untuk mencari terus jawaban tentang hal itu kisah Penangsang ini ditulis,” jelas Mas Kusnadi.

“Jadi, novel ini seperti mau membalik kisah Babad Tanah Jawi ya mas?” tanya saya.

“Begitulah. Haryo Penangsang di novel ini adalah sosok pemberani, pembela kebenaran dan keadilan, serta penganut ajaran Islam yang bersih, sekaligus penentang sinkretisme di tanah Jawa yang gigih,” jawab mas Kusnadi.

Demikian, akhirnya saya pamitan. Buku pemberian mas Kusnadi ini menjadi teman perjalanan saya selama mudik lebaran.

Novel ini telah mengobati kerinduan saya yang sedang menunggu terbitnya sekuel novel Candi Murca atawa Perang Paregrek.