Pak Karim

Lima bulan sebelumnya. Empat puluh tiga berkas proposal renovasi masjid menumpuk di meja kerja saya, untuk mendapatkan rekomendasi supaya bisa diedarkan ke para calon donatur. Disposisi saya: sementara tolak, prioritas desa sekitar! Ya, lokasi masjid yang akan renovasi tersebut bukan di wilayah desa di mana kantor saya berada.

~oOo~

Di Mina, malam kedua. Di dalam tenda kami tidur berdempet-dempetan. Teman tidur sebelah kanan saya namanya Pak Karim (bukan nama sebenarnya). Menjelang mata terpejam kami saling berkenalan dan ngobrol ngalor-ngidul, akhirnya sampai pada pembicaraan mengenai pekerjaan kami. Pak Karim menceritakan bahwa dia penjual tahu sumedang di salah satu Rest Area tol Jakarta – Cikampek. Saya amati wajahnya, kenapa saya tidak ingat wajah ini padahal saya beberapa kali membeli tahu plus lontong di warungnya ketika berangkat ke kantor saya.

Pak Karim menjalankan rukun Islam ke-5 bersama istrinya. Berdasarkan ceritanya, rupiah demi rupiah dia tabung untuk ongkos ke Tanah Haram, sejak tahun kedua dia berjualan tahu sumedang. Dia berjualan di sana sejak Rest Area tersebut dibuka, jadi sudah belasan tahun. Sebuah pelajaran ketekunan dan kesabaran, sekali lagi saya dapatkan dari orang yang baru saya kenal.

Dia bertanya di mana saya bekerja. Dunia memang sempit, ternyata desa tempat tinggal Pak Karim hanya berjarak 2 kilo meter saja dari kantor saya. Dia mulai terbuka kepada saya.

Meskipun sibuk berjualan, pak Karim ini masih mengurusi masjid di kampungnya. 3 tahun ini dia sibuk mengumpulkan biaya untuk merenovasi masjid tersebut.

Subhanallah. Masjid yang dimaksud oleh pak Karim adalah masjid yang sering saya pergunakan untuk shalat jumat, memang lokasinya agak jauh dari kantor saya. Mata saya juga tidak bisa menghafal pengurus masjid yang mempersiapkan shalat jumat, di mana salah satu pengurus itu adalah pak Karim. Masih menurut ceritanya, pada saat mulai renovasi masjid pak Karim ke sana ke mari sendirian mencari dana, bahkan sempat menggunakan tabungan pribadinya. Dia juga meminta sumbangan dengan memasang drum di tengah jalan yang dilakukan oleh ibu-ibu (minta sumbangan model begini terus terang saya tidak setuju – melanggar hak pengguna jalan, tapi saat itu tidak saya utarakan ke pak Karim).

Bagian cerita ini yang menohok hati saya: lima bulan lalu dia membuat proposal sebanyak empat puluh tiga berkas. Untuk bisa memasukkan proposal ke para donatur tersebut harus ada rekomendasi dari pihak kantor saya. Pak Karim bercerita bahwa proposal-proposal tersebut tidak mendapatkan rekomendasi sehingga para donatur menolak memberikan sumbangan, karena tidak adanya rekomendasi.

“Saya sekarang sudah kenal dengan Bapak, nanti saya akan membuat proposal lagi dan mohon bantuan Bapak untuk memperkenalkan saya dengan orang yang berwenang mendatangani proposal-proposal sehingga saya bisa masuk ke para donatur”, kata pak Karim dengan mata berbinar.

Lidah saya kelu untuk menjawab permintaan pak Karim, akhirnya saya jawab: “Insya Allah, pak”. Pak Karim tidak tahu, kalau orang yang berwenang menandatangani rekomendasi itu saya. Karena keangkuhan saya, saat itu saya malu untuk terbuka kepadanya.

Lewat cerita tentang masjid inilah Gusti Allah menegur saya, untuk kembali peduli kepada masjid yang sedang direnovasi pak Karim

Perasaan bersalah selalu menghantui saya sampai di tanah air. Hari ketiga masuk kantor setelah cuti panjang, saya mampir ke warung pak Karim. Saya membuat “pengakuan dosa”. Hati saya lega. Kami jadi bersahabat hingga sekarang.

______
Note: Tadi pagi saya mampir ke warungnya, sarapan lontong plus tahunya yang gurih itu