Saya masih terpana ketika dua hari ini Paijo curhat tentang utang-utangnya, tak mengira ia punya utang sedemikian banyaknya. Ia bercurhat kepada saya dengan harapan saya dapat memberikan solusi, meskipun belum terlontar dari mulutnya kalau ia ingin pinjam uang kepada saya.
Menurut saya, urusan utang-piutangnya menjadi rumit karena kesalahannya. Ia punya utang di sebuah bank dengan jangka waktu 5 tahun, di mana cara bayarnya dengan potong gaji. Ia juga punya tanggungan bayar cicilan mobil selama 3 tahun. Tanggungan utang yang paling parah ada 2 kartu kreditnya sedang bunga-berbunga, jumlahnya sangat besar menurut saya.
Skenario yang diusulkan pada pertemuan pertama dengan saya: ia ingin berutang lagi (dengan jumlah yang cukup besar) untuk melunasi kredit mobilnya (dan juga kartu kreditnya), lalu BPKB-nya diserahkan kepada orang yang mengutanginya sebagai jaminan.
Pada pertemuan kedua dengan saya: jumlah utang yang akan diajukan setengah dari skenario pertama.
Apa yang saya lakukan? Saya mencoba menghubungi seorang teman yang bekerja di jasa pembiayaan dan mendapatkan konfirmasi bahwa skenario semacam itu tidak dapat disetujui. Ada jaminan ada uang, begitu prinsipnya.
Kabar tersebut saya teruskan kepada Paijo, dan sudah bisa saya duga ia kecewa. Ia cukup lama terdiam di hadapan saya, barangkali menunggu pencerahan dari mulut saya.
Sayangnya, saya sedang malas berbicara banyak dengan Paijo. Urusan utang semacam itu bukan bahasan yang menarik bagi saya. Apalagi selama ini Paijo sangat jarang berkomunikasi dengan saya, sekali berkomunikasi kok perkara utang.
Dari kemarin saya sih sudah menyiapkan sebuah pencerahan untuknya, meskipun saya sudah pesimis dengan apa yang akan saya katakan.
“Saya hanya bisa memberikan nasihat saja. Jangan menutup utang dengan utang yang lain, apalagi kalau kita ndak bisa mengelola utang. Jual saja mobilmu, Jo!”
“Rencananya begitu Mas, tapi nanti kami nggak punya mobil dong.”
Kemudian ia diam lagi. Rupanya ia belum rela jika harus kehilangan mobilnya. Apa ia melakukan banyak utang demi gengsi atau memang untuk kebutuhan hidup sehari-hari? Saya tak tega melontarnya pertanyaan ini.
“Hanya seperti itu bentuk bantuan saya kepadamu, Jo!”
Lalu saya sodorkan kertas bertuliskan kalimat doa pembebasan utang yang pernah diajarkan oleh Kanjeng Nabi:
Allahumma inni a’udzu bika min al-hamm wa al-hazan wa a’udzu bika min al-‘ajz wa al-kasal wa a’udzu bika min al-jubn wa al-bukhl wa a’udzu bika min ghalabat al-dayn wa qahr al-rijal
“Ya Allah, aku berlindung kepada Engkau dari kesusahan dan kesedihan, aku berlindung kepada Engkau dari kelemahan dan kemalasan, aku berlindung kepada Engkau dari kepengecutan dan kekikiran, dan aku berlindung kepada Engkau dari himpitan utang dan paksaan orang.”
“Berdoa yang benar dan khusyuk, Jo. Jangan ditulis sebagai status di akun medsosmu!”
Paijo menggantung diri nasib.