Perempuan sepuh yang pada wajahnya sudah dihinggapi senja itu harap-harap cemas, mengeja doa. Ketujuh anaknya yang tinggal berpencar di seantero Nusantara satu-persatu telah memberikan kabar kepadanya, kalau lebaran tahun ini tidak bisa pulang kampung dengan berbagai alasan. Masih ada satu anak lagi yang belum berkabar kepadanya. Dan hanya kepadanya ia berharap, pada lebaran nanti anak kelima dan keluarganya yang akan meramaikan suasana rumah.
Artikel mini 63 kata di atas itu tak hendak saya ikut sertakan dalam Kontes Unggulan BlogCamp: Enam Puluh Tiga. Saya hanya membayangkan bagaimana suasana lebaran tahun ini, apakah selalu meriah seperti tahun-tahun yang lalu. Emang kenape, Bang?
Suasana lebaran sejatinya dari dulu ya hanya seperti itu: kumpul keluarga kemudian saling bersilaturahim antar kerabat, misalnya keliling dari rumah ke rumah. Namun, momen kumpul-anjangsana seperti itu hanya bisa dilakukan saat musim lebaran saja. Maka tak heran, para perantau akan bersusah payah berusaha untuk bisa pulang kampung.
Ritual pulang kampung tahunan seperti itu selalu berulang. Drama kolosal yang melibatkan jutaan pemain itu memperlihatkan betapa guyub dan rukunnya masyarakat Nusantara ini. Pada jalur Pantura drama kolosal tersebut akan selalu mencapai klimaksnya, dengan berbagai macam adegan menggelikan, menyedihkan, mengharukan, menggembirakan, bisa berdiri sendiri-sendiri atawa bercampur aduk menjadi satu.
Kata Gino, lebaran tahun ini berat. Ia sudah berencana nggak pulang kampung, meskipun kampungnya nggak jauh-jauh amat, yakni perbatasan Jawa Barat dan Jawa Tengah, di wilayah Pantura. Bisa-bisa ia bakalan mbrebes mili, bisa mudik namun mungkin nggak bisa balik. Gara-garanya harga BBM naik berbarengan dengan musim kenaikan kelas. Gino pusing keliling tujuh kali.
Anak mbarep-nya masuk SMP, sementara adiknya masuk SD yang keduanya membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Mau utang koperasi nggak dilayani, wong tanggungan utang terdahulu belum beres, sementara kebutuhan dapur naiknya ikut-ikutan prosentase kenaikan harga BBM kemarin.
“Simbokmu pasti maklum, No!” hibur saya.