Orang miskin jangan sakit

Sudah sebulan belakangan Bapak saya mengeluh nyeri pada sendi-sendinya. Menggerakkan apa saja berasa sakit. Jangankan menggerakkan tangan, untuk menengokkan kepalanya saja ia akan merasakan nyeri luar biasa.

Untuk mengobati rasa sakitnya, saya memberikan obat warung dan tentu saja tidak cespleng mengobati sakitnya Bapak. Lima tukang urut dan pijat saya datangkan ke rumah untuk mengobati nyeri yang dirasakan Bapak selama ini. Tak ada perubahan. Hingga pada akhirnya keluarga saya mendapatkan BPJS Kesehatan, Bapak saya bawa ke RSUD.

Karena Bapak tak bisa bergerak – sebab kalau bergerak akan merasakan sakit yang sangat – maka pelan-pelan Bapak kami angkat ke mobil pinjaman tetangga. Di ruang IGD hanya ada dokter umum yang piket, sebab hari itu hari Sabtu – apa hubungannya hari Sabtu dengan tidak adanya dokter spesialis yang piket – Bapak saya diperiksa secara standar. Istri dan adik saya yang berada di ruang IGD, sementara saya mesti ke loket pendaftaran untuk mendapatkan kamar inap.

Ketika saya kembali ke ruang IGD, pada tangan Bapak sudah dipasang selang infus dan kata dokter jaga, Bapak akan diperiksa secara teliti di hari Senin. Kami membawa Bapak ke kamar kelas tiga. Malam harinya Bapak tak bisa tidur karena rasa nyeri menyerangnya. Saya laporkan ke suster jaga dan pada infusnya diberikan obat anti nyeri dan obat tidur.

Kami agak tenang ketika Bapak dapat beristirahat. Saya bergantian jaga Bapak dengan istri dan adik saya. Tak mungkin kami bertiga berada di ruang sempit tempat Bapak dirawat, maka yang dua mesti keluar ruangan, di selasar RS misalnya.

Senin sore Bapak dikunjungi seorang dokter. Tak lama kemudian Bapak dibawa keluar ruang untuk dilakukan rontgen pada tulang belakangnya. Selasa pagi saya dipanggil ke ruang dokter – ia spesialis ortopedi – menjelaskan kondisi Bapak. Dokter tersebut menjelaskan kalau tulang belakang Bapak telah keropos dan perlu tindakan operasi segera. Sayangnya, RSUD tak bisa melayani operasi macam itu. Bapak dirujuk ke RSUD yang berada di kota propinsi.

Demi Bapak apapun akan saya lakukan. Untuk mendapatkan mobil ambulance bukan perkara sederhana meskipun akhirnya saya mendapatkan dengan transaksi wani-piro.

Singkat cerita, Bapak selamat diantar sampai di IGD RSUD kota propinsi pada Selasa sore. Mobil ambulance kembali RSUD kabupaten.

Di IGD tersebut Bapak tidak mendapatkan tindakan apa-apa. Saya hanya mendapatkan keterangan dari petugas jaga, kalau saya mesti mendaftar dulu ke loket pendaftaran. Bukan untuk ditangani IGD tetapi pada Poli Umum. Saya bergegas ke loket pendaftaran. Olala, loketnya tutup.

Tanya kesana kemari, kalau mau mendaftar yang besok pagi dan disarankan antri mulai dini hari, sebab yang antri ada ribuan orang. Waduh, berarti malam itu Bapak harus diinapkan di mana?

Seorang petugas Satpam memberi tahu kalau di basement RSUD ini ada rumah singgah, Bapak sementara dapat diistirahatkan di sana.

Adzan isya sudah berkumandang dari mesjid sebelah. Saya mendorong Bapak yang sejak dari RSUD kabupaten berbaring di ranjang RS beroda menuju rumah singgah yang disebut petugas Satpam tadi. Astaga! Rumah singgah yang dimaksud lebih mirip barak pengungsian, ada ratusan orang sekarat di sana. Kumuh dan jorok. Bayangkan, orang sakit yang dirujuk se-propinsi berkumpul di sana.

Apa yang disebut rumah singgah sungguh tak layak huni. Tak ada ventilasi yang mencukupi dan hanya diterangi lampu neon kelap-kelip dan tak ada fasilitas KM/WC.

Saya dan adik saya bergantian mendorong Bapak, sementara istri saya mencari tempat yang kosong. Tak ada tempat kosong. Jangan dikira mudah mendorong ranjang dari lantai 1 ke basement, lantainya tidak dibuat untuk keperluan memudahkan mobilisasi ranjang RS, wong basement itu sebetulnya difungsikan sebagai tempat parkir.

Kami tempatkan Bapak pada selasar basement. Tak lama kemudian datang petugas Satpam mengusir kami. Saya melakukan negosiasi dengan petugas Satpam tersebut. Malam ini saja biarkan Bapak saya tidur di sini, meskipun terkena angin dan tampias hujan, sebab saya tidak tahu ke mana mesti membawa Bapak beristirahat. Dengan transaksi wani-piro akhirnya kami diizinkan menginap di selasar rumah singgah.

Adik dan istri saya menunggui Bapak, sementara saya mulai melakukan antri di loket pendaftaran. Calo-calo mulai menawarkan diri untuk mendapatkan nomor antrian. Saya tidak tertarik. Rupanya untuk mendapatkan nomor antrian harus berjuang hidup-mati. Tahu-tahu ada seseorang yang menyela antrian saya. Ia marah kepada saya ketika saya menegurnya. Saya mengalah saja.

Loket dibuka jam 6 pagi. Sementara saya sudah antri selepas shalat subuh. Adik saya menelpon ke HP saya, kalau Bapak mesti keluar dari selasar sebab sudah jam 6. Petugas Satpam takut ketahuan telah mengizinkan Bapak saya tidur di selasar. Saya minta adik dan istri saya membawa Bapak ke depan Poli Umum.

Saya mendapatkan nomor antrian 278.

Menjelang siang nama Bapak dipanggil. Hasil pemeriksaan dokter dan setelah mempelajari dokumen yang dibawa dari RSUD kabupaten, Bapak diminta untuk rontgen (lagi) dan tes darah. Kami mendorong Bapak ke ruang rontgen, lalu ke lab darah. Baru mau keluar lab darah.

Kami menunggu hasil rontgen dan lab di sebuah lorong. Hari telah sore, kok nama Bapak belum dipanggil. Saya menuju loket rontgen dan lab darah untuk mendapatkan kepastian hasilnya. Saya terkejut ketika petugas memberitahu kalau hasil rontgen baru selesai besok jam 10 dan untuk lab darah jam 2 siang.

Duh Gusti, berarti malam ini kami harus menginap di rumah singgah lagi?

Note:
Kisah di atas diceritakan dengan berurai air mata oleh salah seorang staf di kantor saya pagi tadi. Saya yang mendengarnya saja sangat terharu dan sedih yang mendalam. Saya tak sanggup meneruskan kisah yang dituturkannya, sebab lebih mengenaskan lagi.