Orang Jawa migrasi ke Jepang

Topik pembicaraan Forum Jumat Petang (FJP) kemarin terasa agak beda. Meskipun berbagai banyolan masih terdengar dari anggota FJP yang hadir, tetapi nuansa curhat menjadi perhatian tersendiri.

Piye Cak, pabrikmu masih terkena imbas tsunami Jepang beberapa waktu yang lalu?” tanya mas Suryat kepada Cak Husodo, manajer pabrik yang berbasis di Jepang.

“Persoalan spare part yang dipasok dari Jepang, mulai pulih. Tapi kini timbul persoalan baru. Spare part yang dipasok dari pabrik Thailand terkendala banjir,” jawab Cak Husodo sambil mengaduk wedang jeruk nipis kesukaannya.

Lha iya, banjir kok bisa menelan sepertiga wilayah Thailand ya? Minggu lalu sacho-ku minta supaya pabrik di Indonesia diantisipasi dari kemungkinan kebanjiran seperti di Thailand sana. Malah kemarin aku ke BMKG tanya-tanya hitungan banjir segala. Lha piye, pabrik yang di Thailand kebanjiran dan berhenti berproduksi!” tukas Pak Haji Yono.

“Pabrikku ya ngono Ji. Sudah seminggu ini pabrik di Thailand libur,” sergah Cak Husodo.

“Mudah-mudahan saja banjir Thailand segera tertangani. Kasihan penduduk Negeri Gajah itu sudah pada mulai stress,” kata mas Suryat.

“Tapi Indonesia dapat berkahnya loh…!” kata Pak Haji.

“Berkah apa, Ji?” tanya Pakde Sapto.

“Karena beberapa kawasan industri Thailand kebanjiran, mereka akan pindah ke kawasan industri Indonesia. Bukan begitu mas Suryat?” tanya Pak Haji Yono.

Nggak serta merta begitu. Ada proses sangat panjang untuk memutuskan pabrik mereka pindah ke Indonesia atawa ke negara lain. Tapi beda, yen mereka ingin memperluas usahanya, keputusan itu bisa sangat cepat. Dan sudah terbukti kok, kawasan-kawasan industri di Indonesia terutama yang ada di wilayah Tangerang-Bekasi-Karawang-Cikampek pancen sedang laris manis. Banyak investor baru yang masuk ke Indonesia,” papar mas Suryat.

“Investor dari mana saja itu mas?” tanya Cak Husodo.

“Mayoritas sih masih dari Jepang,” jelas mas Suryat.

“Wah..wah… Jepang maneh… Jepang maneh… Jaman terbalik, jadinya!” kata Pakde Sapto, manajer produksi dari sebuah pabrik pakan ternak itu.

“Jaman terbalik, pripun Pakde?” tanya mas Suryat.

“Jaman mbiyen mula, kira-kira enam atau tujuh ribu tahun yang lalu, orang Jawa melakukan migrasi ke Jepang untuk melakukan kegiatan bisnis. Nah, salah satu misi yang dibawa oleh sekelompok orang Jawa tersebut adalah bercocok tanam padi,” Pakde Sapto mengambil nafas. “Misinya hampir sama dengan ketika Sultan Agung menyerang VOC di Batavia, lalu pasukannya membangun pusat logistik di Karawang dengan menanam padi.”

Iki guyonan apa beneran, Pakde?” sergah Cak Husodo. Maklum, Pakde Sapto orang paling pintar guyonan di antara anggota FJP.

Peserta FJP yang lain, sedari tadi diam, tetapi mendengar tuturan kawan-kawannya.

Bener dong. Semua ada referensinya. Coba nanti Cak Husodo baca buku The Ancient and the Modern Japanese: Their Origins and Their Languages and Their Possible Links with the Indonesian People and Languages. Tanya mas Suryat, punya bukunya nggak tuh?” kata Pakde Sapto memandang ke arah mas Suryat.

Mas Suryat menggelengkan kepala, tetapi menyahut, “Yen nggak salah, ada juga ilmuwan Jepang yang mengatakan kalau penduduk asli orang Jepang itu orang Jawa yang disebut sebagai southern hypothesis!”

“Bener mas Suryat. Ilmuwan Jepang itu bernama Ryozo Torii yang menulis buku Ancient Japan in the Light of Anthropoloy, tahun 1935. Maka tidak salah kalau kakek kita pernah berkata saat tentara Jepang datang menjajah Indonesia tahun 1942 dulu mereka mengambil hati rakyat dengan menyebut diri mereka saudara tua,” papar Pakde Sapto lagi.

“O, ana sejarahe toh? Tapi di pabrik awak-awak kok ya mung dadi krocok wae ya, kapan bisa jadi sacho-nya?” Pak Haji Yono menukas sambil garuk-garuk kepala.

Terus, curhatnya di mana?

Obrolan berkembang ke topik yang dilontarkan Pak Haji: awak-awak kok ya mung dadi krocok wae ya, kapan bisa jadi sacho-nya?