Orang biasa (bisa) menjadi presiden

Seharian ini TV di rumah menyala terus – tumben – karena saya memantau hasil hitung cepat Pilpres yang digelar hari ini. Seperti janji saya sebelumnya, kali ini saya tidak golput tetapi akan berangkat ke TPS ikut berpartisipasi dalam pesta demokrasi.

Begitu Litbang Kompas mengumumkan hasil hitung cepat pilpres kalau Jokowi-JK menang, saya panggil Kika yang sedang asyik nonton film yang ia donlot dari Warnet Kampus sehari sebelum pulang kampung kemarin.

“Jokowi-JK menang, Kik!” kata saya kepadanya.

Pemilu kali ini untuk pertama kalinya Kika nyoblos. Waktu Pileg kemarin, ia ndak bisa ikut karena ia ditolak petugas TPS di Jogja sana karena cuma membawa KTP saja.

Tak lama kemudian, Megawati dan Timnya melakukan konferensi pers mendeklarasikan kalau Jokowi-JK menang versi hitung cepat, meskipun ada lembaga survai lain yang menyajikan data berbeda. Banyak orang yang menangis bahagia atas kemenangan Jokowi-JK.

“Ada yang perlu dicatat dalam proses demokrasi Indonesia kali ini, Kik,” kata saya kemudian.

Saya tak perlu menunggu tanggapan Kika, sebab ia pasti tak tahu ke mana arah omongan saya. Benar saja dugaan saya ketika ia hanya melontarkan sebuah kata tanya, “Kenapa?”

“Jokowi adalah kita benar adanya. Kita adalah rakyat kebanyakan. Kamu sudah membaca kisah hidup Jokowi, bukan? Ia anak orang biasa. Bapak ibunya dari kalangan rakyat biasa, bukan pejabat atau golongan ningrat. Pun dengan kakek neneknya,” papar saya.

“Lalu?” tanyanya singkat lagi.

“Jokowi memberi harapan kepada anak-anak Indonesia dalam bercita-cita!” jawab saya.

“Cita-cita menjadi presiden?” Kika mencoba menduga.

“Iya, betul. Kini tak mustahil lagi bagi anak Indonesia untuk bercita-cita menjadi presiden selain bercita-cita menjadi seorang pilot atau dokter,” kata saya bangga.

Saya pindahkan saluran TV milik HT. Di sana tertampang hasil hitung cepat yang memenangkan Capres nomor 1. Memang aneh, ketika sebagian besar lembaga survai memenangkan Jokowi-JK, ada sebuah lembaga survai yang berbeda hasilnya.

“Penyesatan informasi, kah?” tanya Kika.

“Entahlah. Mungkin lelucon di tengah ketegangan proses Pilpres. Mungkin untuk membesarkan hati para pendukung fanatiknya,” saya asal menanggapi.

Hmm, seandainya Cak Lontong ikutan survai tentu akan lebih menghibur dan berasa sangat lucu.