Man of Honor: Kehidupan, Semangat, dan Kearifan William Soeryadjaja • Penulis: Teguh Sri Pambudi dan Harmanto Edy Djatmiko • Penerbit: PT Gramedia Pustaka Utama (Desember 2012) • Tebal: 689 halaman + xviii
Sebagai legenda bisnis Indonesia, sosok William Soeryadjaja sudah diulas di mana-mana. Di era internet ini, melalui mesin pencari Google, kita tinggal mengklik kata “William Soeryadjaja”, dijamin langsung tersaji ratusan entry tentang perjalanan hidup lelaki kelahiran Majalengka, Jawa Barat, 20 Desember 1922, yang dijuluki sebagai “Bapak Otomotif Indonesia” ini. Sebagian besar tulisan tersebut, tentu saja, mengungkap tentang karya besarnya membangun kelompok usaha yang kini menjadi salah satu aset nasional. Lalu, masih adakah sisi menarik dari kisah pendiri PT Astra International Tbk. ini sehingga perlu dituangkan dalam sebuah buku biografi? Jawabnya: masih ada, bahkan banyak.
Sebagai bahan dasar untuk memahami kehidupan William, tulisan dalam buku ini yang hampir seluruhnya bersumber dari media massa itu memang cukup berharga sebagai pemahaman awal. Akan tetapi, sesungguhnya masih banyak sekali untold story tentang William yang belum tergali dan terungkap. Penulis mewawancarai 60 narasumber, mulai dari lingkungan keluarga, sahabat, profesional, hingga para mitra bisnisnya. Dari penuturan mereka, plus dukungan riset tentunya, buku ini mencoba merekonstruksi kehidupan William. Buku ini memang berusaha menggali secara mendalam kehidupan William langsung dari tangan pertama orang-orang terdekat, baik yang berada di sekelilingnya maupun yang pernah menjalin hubungan intens dengan William.
Dari Lily Soeryadjaja, sang istri yang telah berusia 89 tahun namun daya ingatnya masih tajam, tergali cerita otentik tentang suka-duka dan jatuh-bangun keluarga Soeryadjaja membangun kehidupan rumah tangga dan bisnisnya. Dari Lily pula, terungkap kisah cinta sejoli William-Lily yang selama ini ditulis kurang akurat oleh berbagai media massa, namun terlanjur tersebar ke mana-mana, termasuk di Wikipedia. Begitu juga dari putra-putrinya terungkap beragam kisah manusiawi hubungan antara ayah dan anak. Kisah anak-anak yang selalu memandang sosok sang ayah sebagai “Daddy yang sempurna”, lepas dari segala kelebihan dan kekurangan William sebagai manusia biasa.
Sementara itu, para mantan profesional yang selama puluhan tahun mendampingi William, antara lain bertutur tentang perjuangan mereka membangun pilar-pilar profesionalisme hingga Grup Astra, yang didirikan tahun 1957 dan cikal-bakalnya berdagang minuman ringan dan odol, akhirnya dinobatkan sebagai pelopor manajemen profesional di Indonesia. Belakangan, setelah pensiun dari Astra dan membangun bisnis sendiri, banyak dari para mantan profesional Astra ini tampil sebagai tokoh-tokoh penting di pentas bisnis nasional seperti Teddy P. Rachmat, Benny Subianto, Subagio Wirjoatmodjo, Hagianto Kumala, Danny Walla, Edwin Soeryadjaja, Kiki Sutantyo, Rahadi Santoso, Maruli Gultom, dan masih banyak lagi. Bahkan, beberapa dari mereka – seperti Edwin, Benny dan Teddy – masuk dalam peringkat orang terkaya dunia versi majalah Forbes. Para mantan profesional inilah, termasuk sang putra Edwin Soeryadjaja yang sering diibaratkan sebagai bunga-bunga yang bermekaran di lahan subur Astra.
Kemudian, dari tokoh nasional yang sekaligus sahabat dekat William seperti Profesor Emil Salim dan Jusuf Kalla, terungkap kisah persahabatan yang tulus antar-sesama tokoh yang sangat mencintai negeri yang disebut Indonesia ini. Mulai dari gagasan menciptakan mobil nasional hingga bagaimana membangun tatatan ekonomi dan bisnis yang berkelanjutan. Begitu juga dengan Erna Witoelar dan Wisaksono Noeradi yang menjadi sahabatnya dalam menggalang kepedulian korporasi pada lingkungan lewat Dana Mitra Lingkungan, jauh sebelum hiruk pikuk gerakan corporate social responsibility dan pelestarian alam.
Dari para mintra bisnisnya, seperti Sofjan Wanandi, Ciputra, Jakob Oetama dan Prajogo Pangestu, misalnya, William selalu menyapanya dengan panggilan sayang dalam bahasa Belanda “Neef”, yang artinya keponakan.
Buku ini memang berusaha memotret secara utuh kehidupan seorang William Soeryadjaja dalam menjalankan berbagai peran kehidupan tersebut. Terutama, mengungkap pandangan dan pemahamannya terhadap Tuhan, kehidupan, kematian, uang dan bisnis, kejayaan, kegagalan, persahabatan dan makna keluarga. Dan, bagaimana pandangan serta pemahaman tersebut mempengaruhi sekaligus membentuk karakter, sifat, sikap dan perilakunya, baik dalam kehidupan pribadi, keluarga, bisnis, maupun kehidupan bermasyarakat dan bernegara.
Banyak nilai dan pandangan hidup yang khas William tergali “tanpa disengaja” saat proses wawancara dengan berbagai narasumber tersebut. Misalnya, sebagai pengusaha, William tidak memungkiri dirinya cinta uang. Tapi, uang yang paling disukainya adalah uang yang bisa diinvestasikan kembali untuk membangun pabrik, membuka lahan perkebunan, membuat lembaga pembiayaan, membangun pusat pendidikan dan pelatihan dan seterusnya. Semua itu agar perekonomian dan bisnis di negeri ini terus bergerak.
Bagi William, jangankan memiliki rekening pribadi di luar negeri seperti lazimnya pengusaha besar di eranya, melihat rekening pribadinya menganggur di bank-bank nasional pun dia tidak suka. Dia lebih senang memutar dan memutar terus uang itu di sektor riil agar lebih banyak lagi orang yang mendapatkan pekerjaan.
Kebahagiaan terbesar William, seperti dituturkan orang-orang terdekatnya, adalah ketika dia melihat semakin banyak orang yang bekerja dan berkeringat untuk membangun masa depan yang lebih baik. Dia selalu memimpikan Astra sebagai pohon yang rindang dengan buah yang lezat, tempat banyak orang bernaung di bawahnya dan menikmati buahnya. Selain rindang dan kokoh, pohon Astra juga tetap lestari sehingga mampu memberikan maslahat bagi banyak pihak: para karyawan, masyarakat sekitar yang terlibat dalam bisnis Astra, serta bagi negara melalui pajak yang disumbangkan. Tak heran, seperti halnya William, banyak orang yang menyebut Astra sebagai Si Pohon Rindang.
Konsekuensi dari semangatnya yang tak pernah puas untuk membuka dan membuka lagi lapangan kerja baru bagi sebanyak mungkin orang adalah William terus berburu bisnis-bisnis baru untuk semakin merindangkan pohon Astra. Orang yang tidak mengenal William secara pribadi dan hanya melihat sepak terjang bisnisnya dari luar, dengan mudah menjuluki Astra sebagai Si Gurita atau Octopus yang rakus dan ingin menggenggam bisnis apa saja yang terlintas di depan mata.
Julukan tersebut sungguh bertolak belakang dengan sifat William sehari-hari yang terkenal sangat dermawan dan penuh welas asih kepada sesama. Ke mana pun dia pergi, di saku kanan-kirinya selalu dipenuhi uang pecahan rupiah tertinggi di zamannya. Kepada siapa pun yang ditemuinya dan dia nilai layak menerimanya, William menyelipkan selembar atau beberapa lembar ke tangan atau saku mereka. Bukan sebatas orang-orang di lingkungan Astra, tapi juga orang-orang di luar Astra yang kebetulan dijumpainya. Bahkan, ketika melakukan perjalanan bisnis ke luar negeri, kedua saku celananya pun selalu dipenuhi pecahan mata uang asing, biasanya dolar Amerika, yang siap dibagikan kepada siapa saja yang ditemuinya.
Kendati pernah dinobatkan sebagai orang terkaya kedua di Indonesia, William dikenal sebagai pribadi yang bersahaja dan rendah hati. Dalam komunikasi sehari-hari dengan karyawannya, William yang sepanjang hidupnya tak pernah punya bodyguard – karena dia percaya Tuhan akan menjaganya – lebih senang dan memang membahasakan dirinya dengan panggilan “Oom” atau “Si Oom.” Panggilan “Oom” ini menunjukkan keinginannya untuk selalu dekat dengan karyawannya. Panggilan ini berbeda dengan kebiasaan yang hidup di masyarakat Indonesia semasa dia hidup – bahkan sampai sekarang – yang lebih gemar menggunakan sapaan “Bapak” untuk atasan atau orang yang dihormatinya.
Tradisi yang berkembang di internal Astra tersebut bahkan menembus ke luar tembok-tembok perusahaan sehingga orang-orang di luar Astra pun dengan akrab dan nyaman memanggil William dengan sebutan “Oom” seperti Profesor Emil Salim, Jusuf Kalla, Jakob Oetama, Sofjan Wanandi, Prajogo Pangestu dan lainnya. Tanpa disadari oleh William sendiri, diam-diam dia memiliki begitu banyak “keponakan” di negeri ini. Termasuk, para wartawan yang selalu menyertakan panggilan akrabnya – Oom William, Oom Willem atau Si Oom – setiap kali mereka menulis tentang William Soeryadjaja.
Di tengah kiprah William dan Astra yang mengagumkan, masyarakat terhenyak ketika pada Februari 1993, demi menjaga nama baik dan kehormatan keluarga, William akhirnya rela melepaskan kepemilikannya di Grup Astra. Ini adalah episode paling dramatis dari seluruh perjalanan hidupnya. Kisah hidup William menjadi menarik bukan karena menyuguhkan sekuel-sekuel cerita nan heroik para pelakunya, melainkan justru sentuhan-sentuhan nilai kemanusiaannya yang menggugah. Yakni, bagaimana sebuah kerajaan bisnis yang dengan susah payah dibangunnya, akhirnya dia lepaskan dengan ketulusan yang tiada tara, demi kepentingan yang lebih besar lagi. Bukan, bukan sekedar demi nama baik dan kehormatan keluarga. Lebih dari itu, demi melestarikan Si Pohon Rindang yang telah dibesarkan dan dirawatnya dengan penuh cinta selama 35 tahun. Tak heran, ketika sang pendiri tak lagi memiliki saham di perusahaan yang didirikannya, Grup Astra tetap mampu tumbuh dan berkembang dengan landasan profesionalisme, filosofi dan cita-cita yang selalu digalakkan oleh sang pendiri. Sehingga, seperti yang dicita-citakan sang pendiri, Astra betul-betul bisa menjadi aset yang bermanfaat bagi bangsa Indonesia.
Dan semangat William tak pernah benar-benar redup setelah dia tak lagi memiliki Astra. Dari Jl. Teluk Betung No. 38 Jakarta, dia terus menyalakan spirit entrepreneurship-nya, menciptakan lapangan pekerjaan buat sebanyak mungkin orang Indonesia. Memang bangunan bisnisnya tak lagi sebesar Astra International yang dirintisnya di tahun 1957. Tapi semangatnya untuk menjadi berkat bagi sebanyak mungkin manusia tak pernah padam.
Buku ini juga berusaha menggali dan mengungkap kearifan atau wisdom yang patut diteladani dari seorang pebisnis bernama William Soeryadjaja di tengah semakin langkanya pebisnis yang meletakkan kehormatan dan nama baik pribadi dan keluarga di atas segalanya, menomorsatukan kepentingan stakeholders, serta menghindari kerugian pihak-pihak yang lemah. Di tengah hempasan gelombang kehidupan dengan pasang surutnya, William seolah ditakdirkan menjalani hidup yang komplit, agar selalu ada acuan bagaimana seharusnya berbisnis secara profesional dan menjunjung etika bisnis di atas segala-galanya.
Buku ini ditulis secara khusus untuk menghormati William Soeryadjaja sebagai ikon bisnis, entrepreneur yang humanis, industrialis yang nasionalis dan visioner, pribadi yang welas asih dan religius, ayah yang bertanggung jawab, serta warga negara yang taat dan bertanggung jawab. Seorang legenda bisnis Indonesia yang sampai akhir hayatnya memeluk erat etika bisnis. Man of honor dalam arti sesungguhnya.
Perusahaan adalah personifikasi pendirinya. Para insan Astra sekarang dan di masa datang tentu amat bangga memiliki sosok pendiri dengan kualitas langka seperti yang ditunjukkan dalam diri seorang William Soeryadjaja, yang diperkenankan Tuhan mengarungi hidup selama 88 tahun.