Novel Ronggeng Dukuh Paruk yang tak disensor

Membaca, mengupas, membahas dan mendiskusikan novel Trilogi Ronggeng Dukuh Paruk (RDP)-nya Ahmad Tohari rasanya tak ada habis-habisnya dan nggak ada bosan-bosannya. Pembicaraan mengenai RDP kembali menggeliat lagi sejak dibuat filmnya dengan judul Sang Penari. Pembaca fanatik RDP sangat penasaran dengan Sang Penari, apakah di film tersebut mampu memvisualisasikan cerita dalam RDP? Dengan membaca dan mencermati pendapat di berbagai media, rata-rata penonton Sang Penari (dan sekaligus pembaca RDP) sangat puas dengan film Sang Penari. Pembuat film memang sengaja membubuhkan kalimat “terispirasi dari Trilogi Novel Ronggeng Dukuh Paruk”, sehingga perbedaan cerita antara di film dengan di novelnya harap dimaklumi.

Sepertinya momen penayangan film Sang Penari membuat Penerbit Gramedia menerbitkan kembali Trilogi RDP dengan memasukkan kembali bagian-bagian yang tersensor selama 22 tahun. Bikin penasaran bukan?

Maaf, yang saya jadikan referensi adalah novel RDP cetakan Pebruari 2003 (cetakan sebelumnya saya tidak punya he..he..). Novel tersebut tebalnya 395 halamannya, sedangkan pada RDP cetakan Nopember 2011 tebalnya 404 halaman. Setelah saya baca ulang dan membandingkan kedua cetakan, perbedaan yang paling menyolok ada di Bab 2 buku ketiga “Jentera Bianglala”. Cetakan 2003: hal 274 – 310, cetakan 2011: hal 274 – 319.

Wis to, pokoke isinya beda sama sekali.