Kemarin, sekitar jam 11.00
Pria berwajah tampan di hadapan saya kelihatan grogi, tapi dari sorot matanya saya tahu ia akan menceritakan sesuatu yang penting.
“Aku harus cerita dari mana ya mas?”
“Penting banget? Ya udah ngomong aja, bakal tak dengerin kok.”
Ia diam. Menatap wajah saya beberapa detik.
“Berkat doamu mas, insya Allah aku mau berangkat haji bulan ini.”
Saya jabat erat tangannya, dan kami berpelukan sejenak.
“Selamat… selamat… ini kabar yang sangat membahagiakan.”
“Tapi mas…?!”
“Ada apa? Ragu? Jangan dong. Nekjika Gusti Allah sudah memanggilmu datang ke rumahNya tak ada satu pun yang mampu menghalanginya. Udah deh, Dia akan bertanggung jawab memberikan kemudahan kamu untuk bisa sampai di Tanah Haram. Percaya padaku!”
“Ini perkara pekerjaan mas. Aku juga belum bilang ke atasanku, kalau aku mau berangkat haji. Takut. Di kantor pekerjaanku sangat menumpuk. Piye nanti kalau tak tinggal dan aku dicap sebagai karyawan yang nggak bertanggung jawab. Tinggal glanggang colong playu.”
“Sekali lagi, percayakan kepada Gusti Allah.”
Jam 13.15 pulang makan siang, kira-kira di KM 60
Mobil patroli polisi jalan tol meminta saya meminggirkan mobil. Hmm, ini pasti gara-gara saya pakai henpon saat nyetir. Mobil saya hentikan di bahu jalan, saya buka kaca jendela ketika polisi muda itu menghampiri saya.
“Ada yang bisa bantu dik…..”
Saya ingat trik yang diajarkan Pak Jenderal. Saya menyebut namanya dengan mantap dan setenang mungkin setelah sekilas melirik label nama di seragamnya.
“Siap ndan! Silakan dilanjut. Maaf telah mengganggu.”
Jam 19.05
Barber shop langganan saya ada satu kursi yang kosong. Saya masuk langsung dipersilakan duduk. Kang Cecep yang asli Garut segera siap-siap menunaikan tugas mulianya.
“Seperti biasa, kang. Tapi polosnya agak ke atas ya?”
“Mau minum teh botol atau pruti, pak?”
Ya, potong rambut di barber shop langganan emang nyiamik layanannya. Ruang ber-AC, satu handuk/kain cukur satu pelanggan, dipijit, plus mendapat minuman dingin. Cuma 15.000.
“Kemarin mudik pak?”
“Iya. Kang Cecep?”
“Kemarin mudik ramai-ramai nyewa mobil apepe. Diantar sampai rumah.”
Sepanjang memotong rambut saya, Kang Cecep menceritakan pengalaman mudiknya. Ketika balik dari mudik ada dua temannya yang ikut. Mereka sekarang magang jadi tukang cukur di kios pangkas rambut sebelah.
Hari ini, jam 10.00
Henpon saya berdering. Di seberang sana terdengar suara pria berwajah tampan.
“Entah ini kabar gembira atawa sedih, mas. Pagi tadi aku dipanggil atasanku. Aku dipindah ke departemen lain. Bagian yang jauh dari disiplin ilmuku.”
Dalam waktu tiga menitan ia ceritakan pekerjaan di departemen yang baru itu. Dan saya paham benar dengan job desc di departemen yang disebut pria tampan itu.
“Hmm… Gusti Allah rupanya punya rencana yang manis untukmu.”
“Rencana manis bagaimana sih mas?”
“Kamu kemarin bilang kalau kamu berat meninggalkan pekerjaan, bukan? Nah, pagi ini Gusti Allah telah menyelesaikan permasalahanmu. Kamu dipindahkan ke departemen lain, berarti kamu belum akan banyak meninggalkan tanggungan pekerjaan ketika ke Tanah Haram nanti. Gajimu bakal dikurangi nggak?”
“Nggak, mas.”
“Ada pengurangan tunjangan nggak?”
“Nggak sih. Malah tanggung jawab pekerjaanku nanti jauh lebih ringan.”
“Itulah bonus pertama dari Gusti Allah, nanti Dia akan banyak memberikan bonus lain. Jadi ringankan langkahmu ke Tanah Haram. Ngomong-omong sudah bilang ke atasanmu kalau mau pergi haji?”
“Sudah mas. Malah ia mempersilakan aku berhaji, baru mendapatkan tugas yang baru itu.”
Jam 12.00
Saat istirahat, lampu-lampu ruangan dimatikan. Gelap. Sebagian karyawan makan siang, sebagian lagi tidur siang. Saya memilih tidur siang, mengistirahatkan raga dan pikiran.
Mimpi siang bolong.
Sendiri, kini aku sendiri lagi. Tanpa teman dan sahabat. Apakah mereka menganggapku monster yang akan mengoyak tubuh dan jiwa, sehingga mereka menghindariku?
Ia bergumam sendiri dalam kesepiannya. Aku berkata kepadanya, “Gusti Allah tempat curhat paling jitu.”