Ngomyang tentang Gamada, Geografi dan kacamata

Pembukaan PPSMB (Pelatihan Pembelajar Sukses Mahasiswa Baru) UGM tanggal 02 September 2013 yang saya lihat sungguh mengharu-biru hati. Ada sembilan ribuan mahasiswa baru (termasuk di antaranya mahasiswa asing) berdiri di lapangan Grha Sabha Pramana (GSP) yang secara serentak mengenakan jaket almamater, kemudian para Gadjah Mada Muda (Gamada) itu meneriakkan salam Palapa dengan lantang: Pancasila Jiwa Kami, Bakti untuk Negeri, UGM Bersatu, Bangkitlah Nusantaraku!

Sekitar jam 10-an kami – para orang tua mahasiswa baru – bertemu dengan pimpinan UGM di auditorium GSP. Ucapan Rektor UGM yang masih terngiang di telinga saya: Nanti beberapa tahun lagi Bapak/Ibu akan duduk di ruangan ini lagi menyaksikan putra/putri panjenengan sekalian diwisuda menjadi sarjana.

Setelah acara dengan pimpinan universitas, para orang tua mahasiswa bertemu dengan pimpinan fakultas yang bertempat di fakultas masing-masing.

Sehari sebelumnya, saya main ke Fak. Geografi, sembari menunggu Kika yang sedang menyelesaikan tugas di fakultasnya. Memang kebetulan letak Fak. Biologi dan Fak. Geografi berada dalam satu kompleks. O, di Fak. Geografi rupanya sedang punya hajat “Minggu Gembira” dalam rangkaian acara Setengah Abad Fak. Geografi UGM. Di sana ada berbagai macam perlombaan yang diikuti oleh keluarga besar Fak. Geografi dan ada panggung hiburan yang dipandu. Mata saya nyalang mencari-cari wajah yang mungkin masih saya kenal, maklum saya meninggalkan fakultas ini lebih dari dua puluh tahun yang lalu. Benar saja, ada beberapa masih saya kenal. Namun untuk meyakinkan – sebelum menyapanya – saya mengetikkan sebuah nama di papan tulis milik Kyai Gugel, klik gambarnya, hmm… betul juga yang saya maksud. Karena mata saya sudah rabun – apalagi saya cuma pakai hape – saya keluarkan kacamata plus dari dalam tas.

Entah karena saya berjalan ke sana ke mari, kacamata yang cuma saya gantungkan di tas, jatuh entah ke mana. Sampai acara selesai, saya telusuri jejaknya nggak ketemu juga. Karena saya membutuhkan kacamata baca, saya pun pergi ke toko kacamata untuk membeli kacamata plus yang sudah jadi.

Pinten mBak, harganya?”

“Tiga lima.”

“Tiga ratus lima puluh ribu?”

“Tiga puluh lima ribu, Pak.”

Kacamata berbahan plastik-sisir tersebut menemani saya selama di Jogja. Seperti biasanya, kalau pergi saya suka membawa buku sebagai teman saat tak ada kegiatan, termasuk saat menuliskan artikel ini.