Naik bis bumel Solo-Yogya

Pada saat libur panjang Maulud Nabi kemarin saya punya 2 acara, salah satunya menengok ibu di Karanganyar dan acara selanjutnya di Yogya. Untuk menghindari kemacetan di jalan raya, saya menggunakan KA sebagai sarana transportasi.

Saya njujug ke Karanganyar dulu.

Karena KA Singasari (langsung dari Karawang ke Solo) belum beroperasi selama Pandemi Covid-19 ini, maka saya menyiasati dengan pindah KA. Pertama, saya naik KA Jayabaya turun di Cirebon, kemudian saya sambung naik KA Gajayana turun di Stasiun Solo Balapan. Sambil menunggu kedatangan KA Gajayana, saya masih sempat makan malam di Stasiun Cirebon.

***

Rencana awal saya, ke Yogya naik KA Prameks. Karena ndak dapat tiket, saya ke Terminal Tirtonadi Solo, naik bis saja. Baru saja saya sampai di pintu masuk terminal, sudah ditawari masuk bis bumel (kasta terendah di kelompok bis non-AC) “Suharno” jurusan Yogya yang sudah ngetem, siap berangkat.

Ketika saya masuk bis, baru ada 5 penumpang. Pak Supir sudah berada di belakang kemudi, menjaga injakan gas supaya mesin bis tidak mati. Kira-kira 30 menit kemudian, bis berangkat.

Inilah untuk pertama kali saya naik bis Solo-Yogya lagi sejak tahun 1992! Saya menjadi bernostalgia naik bis bumel jurusan Solo-Yogya ketika menjadi mahasiswa dulu.

Saban pulang kampung untuk mengambil jatah bulanan, kembali ke kosan saya mesti naik bis. Rutenya: dari Karanganyar naik bis turun di Terminal Tirtonadi, sebab kalau ingin dapat tempat duduk mesti datang langsung ke terminal. Waktu itu banyak pilihan bis bumel, sebut saja Baker, Sedya Mulya, Sedya Utama,  Antar Jaya dan sebagainya. Kalau nasib kurang mujur dan sudah diburu waktu, pasrah saja meskipun berangkat dari terminal sudah tidak dapat jatah tempat duduk alias berdiri sepanjang Solo-Yogya. Situasi ini biasanya terjadi pada hari Minggu sore atau Senin pagi.

Dalam perjalanannya, bis akan berhenti sejenak di Karangwuni dan beberapa titik henti di wilayah Klaten  untuk menaikkan penumpang yang sebagian besar mereka adalah mahasiswa yang kuliah di Yogya. Nanti saya akan turun di Janti (ini tempat turun penumpang yang berasal dari wilayah Timur-nya Yogya). Dari Janti, saya naik Kopata (bis kota Yogya jaman dulu yang bodinya berwarna Oranye & Putih) jurusan Selokan Mataram Gejayan (sekarang Jl. Affandi), kemudian jalan kaki menyusuri Selokan Mataram sampai di Wisma Dermaga Klebengan. Kadang saya memikul beras 10kg yang dibekali ibu dari rumah sementara tangan saya menenteng tempe kering masakan ibu.

Sama halnya jika saya pulang kampung di Sabtu sore. Kebanyakan anak kos pada pulang kampung, sehingga bis pasti penuh dengan penumpang. Pilihannya, naik Kopata jurusan Terminal Umbulharjo dengan banyak pilihan bis (bahkan beberapa kali saya naik bis yang jurusan Surabaya dengan ongkos sedikit lebih mahal daripada bis bumel) atau turun di Janti dengan resiko tidak dapat tempat duduk alias berdiri Yogya-Solo.

***

Lamunan saya buyar ketika mas Kondektur mengetuk kaca pintu bis dengan uang logam berulang-ulang sambil berteriak kalau bis sudah sampai di Terminal Giwangan. Trayek Solo-Yogya ditempuh dalam waktu dua jam lebih. Lumayan lama. Selain bis sering berhenti naik/turunkan penumpang, jalan ruas Solo-Yogya terdapat >25 lampu lalu-lintas (menurut perhitungan saya).