Mulai bersiasat

Kisah ini lanjutan dari artikel Memilih Setia.

Keputusan Gendari menutup matanya dengan selembar kain hitam membuat kehebohan di dalam istana Hastinapura. Kasak-kusuk beredar sampai di sudut dapur atawa kamar-kamar para emban. Tak sedikit yang memuji sikap yang diambil oleh Gendari yang patut dicontoh oleh para istri. Bukan meniru untuk menutup mata dengan kain hitam, namun kesetiaan Gendari kepada suaminya itu yang patut diteladani. Namun tak ada yang tahu isi hati hati Gendari, kalau di dalamnya ada gumpalan dendam kesumat kepada keturunan Pandudewanata.

Patih muda Sengkuni yang sedang leyeh-leyeh di balai-balai terhenyak ketika menyaksikan berita Kabar Pagi yang disiarkan oleh HastinaTV. Berita itu mengabarkan kalau ibu negara Hastina memutuskan untuk menutup matanya dengan kain hitam sebagai tanda bakti kepada suami sekaligus Raja Hastinapura. Tak pikir panjang, Sengkuni segera beranjak dari tempat duduknya dan pergi ke tempat kediaman Gendari.

“mBakyu Gendari, apa sesungguhnya yang melatarbelakangi sikapmu sehingga dirimu membutakan mata? Adakah yang membuat hatimu terluka? Bilang kepada adik lelakimu ini, semua urusan akan aku bereskan segera.”

Sengkuni memandang tajam ke wajah kakak perempuannya itu, menunggu jawaban.

“Sengkuni, kini dirimu sudah mendapatkan kursi patih di Hastinapura karena bujuk-rayuku kepada Mas Desta. Kamu tahu bukan, kalau aku sangat membenci keturunan Pandudewanata dan juga Kunti. Singkirkan mereka!”

Tak perlu berbasa-basi, Sengkuni dengan takzim menerima perintah mbakyunya.

~oOo~

Sengkuni menghadap Destarasta yang saat itu sedang bercengkerama dengan Gendari, istri terkasihnya. Patih yang lihai menjilat sudah mempersiapkan sebuah siasat untuk menyingkirkan Pandawa.

“Baginda, putra-putri Baginda yang berjumlah seratus sudah beranjak dewasa. Masing-masing mesti mendapatkan paling tidak sepetak-sejengkal keraton atawa setidaknya puri. Setelah hamba mengukur dan mengalkulasinya ternyata lahan untuk putra-putri Baginda kurang. Tak mungkin Baginda tidak berlaku adil kepada putra-putri Baginda, bukan?”

“Terus, usulmu apa Sengkuni?”

Sengkuni tersenyum, ia mengedipkan matanya ke arah Gendari. Namun belakangan Sengkuni sadar kalau mbakyunya itu nggak bisa melihat kode kedipan matanya.

“Ampun beribu ampun Baginda. Solusinya adalah memindahkan Pandawa ke tempat lain.”

“Apa?! Aku mesti menyingkirkan para keponakanku dari Hastinapura? Tidak…tidak…. ini solusi yang bisa bikin kacau. Aku tak mau mengkhianati saudaraku Pandu, karena aku telah berjanji untuk melindungi Kunti dan anak-anaknya. Ora….!”

“Iya Sengkuni, tak adakah cara lain selain memindahkan para Pandawa?”

Suara Gendari mengandung makna menyambut siasat Sengkuni. Dan ia pun segera menyampaikan kepada Raja Destarasta.

“Ampun Baginda. Kita tak hendak mengusir Pandawa dari tanah Hastinapura. Baginda bisa menghadiahi Pandawa sebuah tanah-merdeka dan mereka bisa tinggal dan mendirikan kerajaan di tanah itu!”

Raja Destarasta diam dan menganggukkan kepala, lalu minta pertimbangan Gendari.

Piye dik, dengan solusi yang ditawarkan Sengkuni?”

Dalam hati, Sengkuni dan Gendari bersorak girang karena jebakan mereka sudah mengenai sasaran.

“Bagus…. ide yang cemerlang. Terus, tanah bagian mana yang akan kita berikan kepada Pandawa, Sengkuni?”

“Hutan Wanamarta, mBakyu!”

~oOo~

Syahdan, Kunti dan Pandawa secara halus terusir dari Hastinapura. Mereka segera berkemas menuju tanah-merdeka yang dihibahkan oleh Destarasta.

Dari balik jendela Sengkuni terkekeh. Sebentar lagi Pandawa bakal mampus, karena Hutan Wanamerta terkenal angker karena dijaga oleh raja jin yang sangat sakti.

Destarasta sangat sedih. Ia mencium adanya bau konspirasi orang-orang terdekatnya untuk menyingkirkan Pandawa yang sangat disayanginya itu, namun ia tak bisa berbuat apa-apa.