Beberapa jam kemudian…
Bandara Internasional Djuanda, Surabaya
Boeing 737-900 ER ternyata tidak seindah iklannya. Selama tujuh puluh menit waktu penerbangan dari Cengkareng ke Surabaya, Doktor Steven, Herbert, Pötsch, dan Samuel yang memiliki postur tubuh tinggi di atas rata-rata orang Indonesia benar-benar merasa sangat tersiksa. Walau secara umum interior di dalam pesawat cukup bagus, dilengkapi dengan kursi yang empuk dan dilapis kulit sapi yang lembut, namun jarak antar kursi yang begitu rapat, ke depan maupun ke samping, membuat orang-orang bertubuh tinggi dan besar seperti mereka tidak bisa bergerak leluasa.
-//-
Seperti di Bandar udara kebanyakan lainnya di seluruh dunia, di bagian luar exit gate selalu saja dipenuhi orang-orang yang ingin menyambut sanak-keluarga, kenalan, atau orang terkasih yang baru saja tiba. Tak ketinggalan pula calo hotel, yang dibuat semenarik mungkin agar ada konsumen yang terpikat pada mereka, atau calo-calo taksi dan angkutan carteran lainnya.
Di antara para penjemput, seorang lelaki berusia lima puluhan berkepala botak tampak berdiri di bagian paling depan tepat di ujung pintu keluar. Dalam posisi yang sangat strategis itu, dia bisa tetap berdiri dengan rileks menunggu orang-orang yang hendak dijemputnya. Tidak perlu menjulurkan kepala atau berjingkat meluaskan pandangannya.
Herbert Von Eicke berjalan paling depan melihat lelaki itu dari kejauhan. Wajahnya berubah cerah. Orang tua itu memperpanjang langkah kakinya dan menghampiri si botak.
“Bagaimana kabarmu, Cak!”
Cak adalah panggilan akrab bagi lelaki di hampir seluruh Jawa Timur. Si botak yang dipanggil Herbert dengan sebutan Cak itu tersenyum.
“Alhamdulillah baik, Pak…”
Dia lalu berjalan keluar dari kerumunan orang di luar pagar pembatas, beriringan dengan Herbert dan kelima temannya. Setelah keluar dari kerumunan penjemput, lelaki botak itu menyalami kelima teman Herbert. Herbert memperkenalkan lelaki itu.
“Ini Cak Djiwo, sahabatku. Dia akan mengantarkan kita ke Ngagel…”
Cak Djiwo tersenyum ramah dan menganggukkan kepalanya. “Ya, aku akan mengantar kalian ke makam Der Führer,” ujarnya ringan.
Pötsch dan Herbert tersenyum. Sedangkan Doktor Steven, Sabina, dan Samuel kedua matanya sempat mendelik.
Rahasia besar itu begitu ringan diungkapkan!
-//-
Sambil terus menyetir, Cak Djiwo bercerita kepada semua yang ada di dalam kendaraannya.
“Selain Dokter Poch alias Hitler, jasad Bung Tomo juga dikuburkan di Taman Pemakaman Umum Ngagel. Ada juga makam tokoh Islam almarhum Buya Haji Bey Arifin. Namun jangan kaget jika nanti melihat jika di makam itu, terdapat empat nisan lainnya dalam satu makam.”
“Maksudmu, Cak?” selidik Herbert.
Cak Djiwo tertawa lepas. Sangat khas Jawa-timuran.
“Iya. TPU Ngagel itu mungkin termasuk taman pemakaman umum paling padat di Indonesia. Di sana, bukan hal aneh lagi kalau mayat yang dikubur itu ditumpuk-tumpuk, mirip dengan ikan sarden. Bahkan seperti jasad almarhum Buya Haji Bey Arifin itu, ada empat jasad lainnya di dalam satu lubang. Ada jasad istri almarhum, Nyonya Zainab, serta jasad ketiga anaknya yakni Ahmad Urfi, Muhammad Munif, serta Hajah Nurhayati.”
“Bagaimana dengan makam Hitler itu?”
“Makam itu sendirian, tidak ada jasad lainnya yang ditumpuk satu lubang. Walau demikian, makam itu tetap saja berada di tengah himpitan makam-makam lainnya.”
-//-
Tidak berapa lama kemudian, minibus itu pun tiba di depan Taman Pemakaman Umum Ngagel. Setelah memarkir kendaraannya, Cak Djiwo berjalan di depan rombongan menuju pintu kompleks pemakaman yang dipenuhi tukang penjual bunga dan pengemis.
Setelah berjuang melewati berbagai makam, melangkahi ratusan nisan, dan meletakkan kaki di tempat yang sulit dan sempit, mereka akhirnya di depan sebuah makam yang tampak tidak terurus.
Makam itu hanya berjarak sepuluh meter dari dinding tinggi yang membatasi areal pemakaman umum dengan perkampungan Ngagel.
Doktor Steven, Sabina, Samuel dan Asep berdiri termangu di depan sebuah makam berukuran dua kali satu meter yang amat sangat biasa.
Bernarkah ini makam orang yang pernah menjadi momok dalam Perang Dunia II yang ditakuti oleh negara-negara besar seperti Amerika, Rusia, Prancis, dan Inggris sekaligus?
~oOo~
Artikel di atas saya kutip dari novel The Escaped karya Rizki Ridyasmara halaman 460 – 466. Novel ini menceritakan kalau Hitler tidak tewas bunuh diri di dalam bunkernya di Berlin. Sejumlah petinggi Sekutu membenarkan hal ini, bahkan tengkorak Hilter yang selama ini disimpan di Rusia ternyata palsu. Hitler diduga kuat melarikan diri ke negeri yang oleh Prof. Arysio Santos disebut sebagai Atlantis yang hilang. Ya, konon Hitler melarikan diri ke Indonesia sampai meninggalnya. Sebuah makam misterius di Ngagel Surabaya diyakini sebagai makam Adolf Hitler. Berbagai petunjuk mengarah ke sana. Terlebih Brandenburgers Codex, sebuah manuskrip berbahasa Jerman kuno, ditemukan dan mengindikasikan jika Hitler memang melarikan diri ke Indonesia. Novel setebal 478 halaman ini diterbitkan oleh Salsabila Kautsar Utama (Januari, 2011). Novel karya Rizki Ridyasmara – Dan Brown-nya Indonesia –yang lain yang tak kalah ciamiknya adalah Codex: Konspirasi Jahat di Atas Meja Makan Kita (Salsabila Kautsar Utama, Mei 2010) dan The Jacatra Secret: Misteri Simbol Iblis di Jakarta (Salsabila Kautsar Utama, Maret 2011).